Boru Hasian dan Anak Na burju

Boru Hasian dan Anak Na burju
Elisabeth Thw Br. Regar dan Mathyas P. Siregar

Adalah baik menjadi orang penting tetapi lebih penting menjadi orang baik

DO WHAT EVER CAN YOU DO..

Senin, 29 Maret 2010

TRADISI GEREJA ORTHODOX TIMUR Dl TENGAH-TENGAH PERUBAHAN-PERUBAHAN MASYARAKAT Oleh : Pater Dr. Chrysostomos P. Manalu, MTh

Istilah “tradisi’ berasal dari bahasa Latin traditio, dalam bahasa Yunani disebut “paradosis” yang berasal dari kata kerja “paradido” yang berarti memberikan, menawarkan, melakukan amal. Dalam istilah teologis berarti setiap ajaran atau praktek yang telah diwariskan dari suatu generasi ke generasi berikut sepanjang kehidupan Gereja.
Akar dan dasar-dasar tradisi suci ini ditemukan dalam Kitab Suci. Karena hanya dalam Alkitab sucilah kita dapat menghayati kehadiran Pribadi dan Tritunggal Mahakudus: Sang Bapa, Sang Putra dan Sang Roh Kudus. Yohanes berbicara tentang manifestasi dari Tritunggal Mahakudus: “Apa yang telah ada sejak semula, yang telah kami dengar, yang telah kami lihat dengan mata kami, yang telah kami saksikan dan yang telah kami raba dengan tangan kami tentang Firman Hidup itulah yang kami tuliskan kepada kamu. Hidup itu telah dinyatakan, dan kami telah melihatnya dan sekarang kami bersaksi dan memberitakan kepada kamu tentang hidup kekal, yang bersama-sama dengan Bapa dan yang telah dinyatakan kepada kami” (lYoh. 1:1-2).
Inti dan Tradisi Kudus Kristen digambarkan oleh Rasul Paulus, yang menulis: ‘Di dalam Dia kamu juga karena kamu telah mendengar firman kebenaran, yaitu Injil keselamatanmu - di dalam Dia kamu juga, ketika kamu percaya, dimeteraikan dengan Roh Kudus, yang dijanjikan-Nya itu. Dan Roh Kudus itu adalah jaminan bagian kita sampai kita memperoleh seluruhnya, yaitu penebusan yang menjadikan kita milik Allah, yang memuji kemuliaan-Nya” (Ef. 2:13-14).
Paulus juga membuat jelas bahwa doktrin Trinitas ini harus diterima oleh semua orang Kristen: “Tetapi sekalipun kami atau seorang malaikat dari sorga yang memberitakan kepada kamu suatu Injil yang berbeda dengan Injil yang telah kami beritakan kepadamu, terkutuklah dia. Seperti yang telah kami katakan dahulu, sekarang kukatakan sekali lagi: jikalau ada orang yang memberitakan kepadamu suatu injil, yang berbeda dengan apa yang telah kamu terima, terkutuklah dia.” (Gal. 1:8-9).
Demikianlah juga dengan Perjamuan Kudus yang telah diterima oleh para rasul dan terus disampaikan kepada orang lain tanpa putus-putusnya. Paulus berkala:
Sebab apa yang telah kuteruskan kepadamu, telah aku terima dari Tuhan, yaitu bahwa Tuhan Yesus, pada malam waktu Ia diserahkan, mengambil roti.” (I Kor. 11:23).

Tradisi Rasuliah
Pan penulis Alkitab menyebutkan secara tersirat bahwa ajaran Kitab Suci adalah “Tradisi Apostolik” hal ini mencakup segala apa yang dilihat, disaksikan dan kemudian dicatat para rasul hidup dalam buku-buku Perjanjian baru. Para uskup (episkopos) ditunjuk sebagai pengganti mereka, mengikuti ajaran mereka. Mereka yang menyimpang dari ajaran rasuli ini dianggap terputus dari tali kesinambungan Gereja. Mereka dianggap bidaah dan kelompok skismatik, karena mereka memiliki kepercayaan yang berbeda dan para rasul, dengan demikian memisahkan diri dari Gereja. Hal ini membawa ke fokus Gereja sebagai pusat kesatuan semua orang Kristen. Ini adalah karakteristik eklesiologis gerejawi atau Tradisi. Gereja adalah gambar dan refleksi dari Tritunggal Mahakudus yang hidup, tetap ada, dan terus berkarya dan bertindak dalam Gereja. Bapa menawarkan cinta-Nya, Sang Putra menawarkan ketaatan-Nya, Sang Roh Kudus kenyamananNya. Hanya dalam Gereja historis dapat dilihat, dirasakan, dan dihidupi kehadiran Tritunggal Mahakudus. Paulus mengatakan: “Ia datang dan memberitakan damai sejahtera kepada kamu yang "jauh" dan damai sejahtera kepada mereka yang "dekat", karena oleh Dia kita kedua pihak dalam satu Roh beroleh jalan masuk kepada Bapa.Demikianlah kamu bukan lagi orang asing dan pendatang, melainkan kawan sewarga dari orang-orang kudus dan anggota-anggota keluarga Allah,yang dibangun di atas dasar para rasul dan para nabi, dengan Kristus Yesus sebagai batu penjuru.Di dalam Dia tumbuh seluruh bangunan, rapi tersusun, menjadi bait Allah yang kudus, di dalam Tuhan. Di dalam Dia kamu juga turut dibangunkan menjadi tempat kediaman Allah, di dalam Roh. (Ef 2 :17-22).
Kesatuan Tritunggal Mahakudus, sebagai realitas fundamental dalam Gereja dan dari Gereja, juga memerlukan kesatuan yang nyata di antara semua anggotanya. Semua anggota Gereja hidup dalam ikatan cinta dan persatuan melalui Tritunggal Mahakudus Kebenaran ini digambarkan oleh Rasul Petrus: “ Tetapi kamulah bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri, supaya kamu memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia, yang telah memanggil kamu keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib: kamu, yang dahulu bukan umat Allah, tetapi yang sekarang telah menjadi umat-Nya, yang dahulu tidak dikasihani tetapi yang sekarang telah beroleh belas kasihani ( 1 Ptr.2:9-10).

Tradisi Patristik
Tradisi, adalah peristiwa historis di dalam kehidupan orang percaya yang dimulai dari khotbah dan pengajaran para rasul dan penerusnya yang ditemukan dalam Kitab Suci, dan tetap berharga yang dapat dibaca dan dimengerli maknanya di dalam Gereja yang diulas dan dilahirkan oleh Bapa-bapa. Bapa-bapa Gereja yang membahas tulisan para rasul dan mengajarkannya turun-temurun, inilah yang disebut dengan: “Tradisi Patristik.”
Bapa-bapa Gereja yang luar biasa keyakinan dan kekudusannya menerima penghormatan yang kudus dan Gereja universal. Jadi, khotbah atau Tradisi Apostolik adalah organik terkait dengan Tradisi Patristik dan sebaliknya. Hal ini harus ditekankan karena banyak teolog di gereja-gereja Baruat yang membedakan Tradisi Apostolik dan Tradisi Patristik, bahkan menolak Tradisi Patristik. Bagi Gereja Orthodox hanya ada satu Tradisi: Kitab Suci dan Pengajaran Bapa-bapa Gereja. Tradisi Gereja, menggabungkan Kitab Suci dan ajaran Bapa. Ini adalah “Pemberitaan tentang kebenaran yang diterus sampaikan Gereja di seluruh dunia kepada para umatnya” (St. Irenacus, Proof of the Apostolic Preaching, 98). Agioss Athanasius Agung yang dijuluki si “Tiang Tonggak Orthodox,” yang adalah seorang uskup dari Alexandria pada abad keempat, memberikan defenisi yang paling tepat tentang Tradisi Gereja: “Mari lihat tradisi, pengajaran, dan iman dari Gereja yang universal itu sejak awal, yang telah memberikan Logos (edoken), para Rasul telah memproklamirkan (ekeryxan), para Bapa Gereja memelihara (ephylaxan). Di atas Gereja yang semacam inilah tradisi kudus itu telah didirikan (tethemeliotai) “( St. Athanasius, First Letter to Serapion, 28).
Karakteristik lain masih perlu ditambahkan, yaitu bahwa Tradisi Gereja bersifat universal dalam ruang dan waktu Agios Vincent dari Lerins, seorang uskup dan penulis di Perancis pada abad kelima, menulis bahwa “kita harus terus-menerus mempertahankan apa yang telah kita percayai dimanapun-mana, oleh siapapun” (Common, 2). Memang, Gereja dengan semua anggotanya, selalu, sejak dari awal hingga akhirnya nanti selalu mengajarkan di mana-mana karya penebusan Kristus. Ini tidak berarti bahwa Gereja dan Tradisi kudusnya bergerak dalam numerik, geografis atau batas-batas kronologis. Gereja dan Tradisinya, walaupun hidup dalam sejarah, selalu memiliki nilai kekal, karena Kristus, Pendiri Gereja, tidak memiliki awal dan tidak ada akhir. Dengan kata lain, ketika universalitas Tradisi Gereja disebutkan, hal itu menunjuk kepada karunia-karunia Roh Kudus, yang memungkinkan Gereja untuk memelihara kebenaran rasuliah ini sampai akhir zaman, tanpa cacad, utuh. dan tidak berubah. Hal ini benar karena Tradisi Kudus adalah ungkapan umum Orthodox (phronema, perhatian utama) dari seluruh Gereja melawan semua ajaran sesat dan perpecahan.
Penting sekali menekankan dua sisi berkenaan dengan kekinian dan kebakaan Tradisi Suci. Paler Georges Florovsky menulis bahwa: “Tradisi suci bukan suatu prinsip berjuang untuk memulihkan masa lalu, menggunakan masa lalu sebagai kritena untuk saat ini. Semacam konsepsi tradisi ditolak oleh sejarah itu sendiri dan oleh kesadaran Gereja Orthodox ... Tradisi seharusnya terus-menerus mematuhi Roh dan tidak hanya memori kata-kata belaka Tradisi adalah karunia, bukan peristiwa historis” (The Catholicity of the Church in Bible, Church, Tradition, p.47).

Tradisi
Agios Basilios Agung memberikan penjelasan yang benar berkaitan dengan Tradisi Suci Gereja. Tradisi kudus bukanlah seperangkat ajaran dogmatis yang mandeg, atau praktek-praktek seragam upacara liturgi Gereja. Meskipun ‘tradisi kudus juga meliputi baik ajaran doktrin, formula liturgika, serta praktek, ibadah lainnya. Namun tradisi kudus melebihi dan pengertian semuanya itu, yaitu manusia dengan kasih karunia Tuhan Yesus, umat Allah dibawa mengalami persekutuan yang erat dengan Sang Tritunggal itu sendiri. Tradisi kudus bukanlah sesuatu yang abstrak dan teoritis atau bahwa mengabaikan kebutuhan sehari-hari kebutuhan manusia & Sebaliknya, tradisi kudus adalah “peraturan iman” yang menjadikannya setiap hari menjadi “peraturan ibadah.” Doktrin pengajaran dan bimbingan moral dan praktek-prakiek liturgis adalah bagian yang unik terpisahkan dari Tradisi Suci.
Theologia inkarnasi, kebenaran historis dari penyaliban dan kebangkitan, Perjamuan Kudus, tanda salib, penyelaman tiga kali, menghormati dan menghargai Perawan Maria dan orang-orang kudus Gereja, semuanva penting bagi orang Kristen, yang ingin menemukan jati dirinya di dalam Kristus. Inilah yang telah diajarkan oleh Gereja selama berabad-abad.

Konsili Sejagad
Sebagaimana telah dicatat, kewenangan, kekuasaan, dan pengaruh dari Tradisi suci ditemukan dalam Kitab Suci dan pengajaran Bapa-bapa Gereja sebagai ekspresi total dan terpadu wahyu dari Allah Tritunggal Mahakudus di dunia. Kristus, sebagai Guru, Gembala dari Raja yang tertinggi, melaksanakan kuasa-Nya di dalam Sang Roh Kudus melalui para Rasul dan para pengganti mereka. Para Rasul, para pengganti mereka dan seluruh umat Allah adalah Tubuh Kristus memperluas kerajaan-Nya sepanjang masa. Tidak ada pengajaran pribadi yang menyelamatkan doktrin Gereja tulis Agios Maximos Sang Pengaku (Abad ke-7; Migne P6, 90, 1 20C). Dalam surat balasan kepada Paus Pius IX pada tahun 1848. Seorang Patriarch Orthodox menulis: “Para pembela iman adalah setiap anggota gereja Tubuh Gereja, yaitu seluruh umat yang menginginkan iman mereka tetap terus-menerus sesuai dan selaras dengan pengajaran Bapa-bapa Gereja.” Dengan demikian para rohaniwan dan kaum awam sama-sama bertanggung jawab terhadap pemeliharaan keotentikan dan Tradisi Kudus di dalam dan melalui kehidupan Gereja. Dalam konteks inilah, khususnya, Konsili Gereja Sejagad, dan juga Synode Gereja Lokal sangat penting. Konsili pertama Gereja Sejagad adalah Konsili para rasul yang terjadi di Yerusalem tahun 51 Masehi. Kemudian, para uskup sering berkonsili baik secara lokal maupun universal (ekumenis) untuk membahas dan memecahkan isu-isu dogmatis dan kanonik yang sedang timbul.

Gereja Orthodox menerima tujuh Konsili Ekumenis sebagai berikut:
1. Konsili Nicea pada tahun 325, membahas dan mengutuk Arianisme,
2. Konsili Konstantinopel pada tahun 381, mengutuk Apollinarianisme prinsipnya
3. Konsili Efesus pada tahun 431, mengutuk Nestorianisme.
4. Konsili Khalsedon pada tahun 451, mengutuk Monofisitisme.
5. Konsili Konstantinopel, pada tahun 553, mengutuk Origenes dan bidah lainnya.
6. Ketiga Konsili Konstantinopel di 680-81, yang mengutuk Monothelitism.
7. Konsili Nicea, di 787, mengutuk ikonoklasme.

Gereja Orthodox juga menetapkan status ekumenis dan Konsili di Trullo di 692, yang berlangsung di Konstantinopel. Uskup Gereja Timur ikut ambil bagian di dalamnya, dan mereka menetapkan kanon disiplin untuk menyelesaikan tugas dari Kelima dan Keenam Konsili Ekumenis dan, dengan demikian, diketahui sebagai Konsili Kelima-Keenam.

Tradisi Suci Perjamuan Kudus
Perjamuan Kudus itu sendiri adalah tradisi suci. Perjamuan Kudus, sering disehut dengan istilah: Perjamuan Kudus. Semua orang Kristen Orthodox bertemu bersama, bersatu dalam keyakinan yang mutlak, dalam doktrin dan ibadah menyaksikan kehadiran Tritunggal Mahakudus di altar Gereja. Uskup dan imam berdoa kepada Allah Bapa untuk mengirim Sang Roh Kudus dari mengubah roti dan anggur menjadi tubuh dan darah Kristus yang mulia. Semua orang beriman dipanggil untuk menerima dan mengambil bagian dalam Perjamuan Kudus dan menjadi anggota aktif Tubuh Kristus. Dalam liturgi, seperti yang ditetapkan oleh Tuhan sendiri, seluruh Gereja bertemu setiap ada ibadah untuk menyatakan dan menjalankan kesatuan dan persatuan iman dalam Yesus Kristus. Dalam liturgi Orthodox, kita melihat seluruh sejarah Tradisi disatukan dalam tubuh dan darah Kristus. Agios Gregorius Palamas berkaitan dengan Perjamuan Kudus, menulis:

“Kami berpegang teguh semua Tradisi suci Gereja, yang tertulis maupun yang tidak tertulis, dan di atas semuanya itu yang paling kudus dan sakral adalah perayaan dan persekutuan (synaxis), dimana semua ibadah lainnya dijadikan sempurna “(Letter to Dionysius, 7).
Penekanan pada Perjamuan Kudus menunjukkan bahwa Tradisi suci adalah cara hidup yang dinamis yang berlangsung terus-menerus dalam rangka liturgi Gereja. Dengan berpartisipasi dalam Perjamuan Kudus, kita menyatakan Tradisi kita hidup dan aktif sebagai anggota Gereja. Tentu saja, untuk hidup sesuai dengan Tradisi Gereja Orthodox, untuk berpartisipasi, sepenuhnya, dalam kehidupan Tradisi bukanlah tugas yang mudah. Kita memerlukan pertolongan Roh Kudus, untuk hidup dalam cara sakramentis dan kehidupan Kristus. Agios Gregorios Pajamas menulis:
‘Semua dogma yang sekarang dinyatakan secara terbuka dalam Gereja dan diberitahukan kepada semua, yang sebelumnya hanya misteri yang dilihat oleh para nabi melalui Roh. Dengan cara yang asma berkat-berkat yang dijanjikan kepada orang-orang kudus di zaman yang akan datang adalah masih misteri, diberikan kepada dan diramalkan oleh orang-orang yang dianggap layak Roh, tetapi hanya dalam cara parsial dan dalam bentuk janji” “(Tomes of the Holy Mountain. Preface).

TRADISI SUCI
DI GEREJA ORTHODOX
Salah satu bagian yang paling penting dari teologi Orthodox adalah kepatuhan terhadap apa yang dikenal sebagai Tradisi Kudus, yang dinyatakan melalui ketakberubahan - bahkan keabadian - dan bahkan merasakan hidup berkesinambungan dengan Gereja mula-mula. “Sebab itu berdirilah teguh dan berpeganglah pada ajaran-ajaran yang kamu terima dari kami baik secara lisan maupun tertulis”. (2 Tes. 2:15).
Tradisi dalam Gereja Orthodox, mengacu pada Kitab Suci, Pengakuan Iman Nicaea dan Konstantinopel, ketetapan-ketetapan Konsili Ekumenis, tulisan-tulisan Bapa-bapa Gereja, Kanon-kanon, buku-buku ibadah, ikon-ikon. Tidak ada konflik antara Kitab Suci dan Tradisi suci-Allah, sumber wahyu, memberi kami terdahulu dan membimbing mereka yang kemudian.
Tradisi Suci sering dianggap sebagai melestarikan iman seperti sebuah museum. Sebaliknya - keyakinan kita didasarkan bahwa Sang Roh Kudus masih bekerja di Gereja saat ini. Jika kita titik percaya hal ini, kita akan selalu dipaksa untuk percaya bahwa Allah tidak menganggap Gereja yang didirikan oleh Kristus, tidak membimbing Gereja sepanjang sejarah. NĂ mun, karena kami percaya bahwa Sang Rob Kudus adalah dengan kita, bertiup ke mana ia mau (Yoh. 3:8), dan membimbing kita kepada semua kebenaran (Yoh. 16:13). Ini adalah kemampuan Tradisi suci untuk tetap sama yang memungkinkan untuk sebuah dinamisme dalam Gereja Orthodox yang tak tertandingi. Hal ini memungkinkan bagi orang untuk menjalani kehidupan Kristus di manapun orang percaya berada. “Jikalau Penghibur yang akan Kuutus dari Bapa datang, yaitu Roh Kebenaran yang keluar dari Bapa, Ia akan bersaksi tentang Aku. Tetapi kamu juga harus bersaksi, karena kamu dari semula bersama-sama dengan Aku” (Yoh. 15:26-27).
Tradisi suci adalah sebuah pejumpaan dengan Allah yang hidup, dan pengalaman inilah yang memungkinkan Gereja Orthodox menerima karya Roh Kudus di dalam Gereja.

TRADISI
Gedung gereja memiliki banyak arti simbolis, mungkin yang paling tua dan paling menonjol adalah konsep bahwa Gereja adalah Bahtera (Nuh) di mana dunia dipelihara dari ancaman baujir, sehingga sebagian besar Gereja-Gereja Orthodox Timur dalam desain persegi panjang Konfigurasi populer lainnya, terutama untuk gereja-gereja dengan model salib. Pola arsitektur yang berbeda-beda dalam bentuk dan kompleksitas, dan kadang-kadang ditambahkan kapel utama di gereja, atau tiga altar, tetapi secara umum, tata letak simbolis gereja tetap sama. Bangunan Gereja dibagi menjadi tiga bagian: narthex (ruang depan atau ruang masuk), Nave disebut juga dengan nama ruang kudus. Narthex adalah tempat para katekumen dan pengunjung non-Orthodox diminta untuk berdiri selama ibadah. Ruang kudus dan ruang mahakudus dipisahkan dari nave oleh “The Royal Gate”. Di setiap sisi gerbang ini adalah lilin berdiri (menalia) mewakili tiang api yang berjalan di depan orang-orang Yahudi ketika keluar dari Mesir. Nave adalah tempat sebagian besar umat berdiri selama ibadah. Pada umumnya, laki-laki berdiri di sebelah kanan dan perempuan di sebelah kiri. mi adalah untuk sejumlah alasan: (1) Mengingat kelompok keluarga pada abad yang alu, suami sangat dominan; demikian. (2) Ide pemisahan jenis kelamin telah diwarisi orang Yahudi dan menerapkannya di rumah ibadat mereka (sinagoge). (3) Pemisahan jenis kelamin juga dilakukan dalam latihan paduan suara dimana. tingkat suara yang berbeda-beda dipisahkan untuk menjaga keharmonisan suara.
Secara umurn, pria dan wanita berpakaian dengan sopan, biasanya memakai “pakaian Minggu” ketika mereka memasuki gereja. Seringkali, perempuan menutup kepala mereka seperti yang ditentukan oleh Paulus. Anak-anak dianggap sebagai anggota penuh dari Gereja dan berdiri penuh perhatian dan tenang selama ibadah berlangsung. Sering kali ada tempat paduan suara di samping atau di loteng di belakang. Pengidung, selalu hadir di depan gereja untuk mengidungkan kidungan yang merupakan bagian dari Liturgi yang dilayankan oleh Imam. Biasanya ada kubah besar di Iangit-Iangit dengan ikon Kristus digambarkan sebagai Penguasa Alam Semesta (Pantocrator).
Di Gereja Orthodox Timur segala sesuatu memiliki makna dan tujuan yang rnengungkapkan wahyu Tuhan kepada manusia. Ruang kudus dan ruang mahakudus dipisahkan suatu tembok pemisah yang disebut: iconostasion alan temblo. Di tengah dinding adalah pintu masuk ke altar yang dikenal sebagai “Gerbang Indah”. Melalui Pintu Gerbang Raja inilah, imam keluar masuk ketika ibadah sedang berlangsung. Ada juga pintu sebelah kanan dan pintu sebelah kiri di bagian depan ikonostasion, satu menggambarkan penghulu malaikat, Michael dan yang satu lagi malaikat Gabriel. Imam dan putra mezbah sering masuk dan keluar melalul pintu-pintu ini ketika Liturgi suci sedang berlangsung Tepat di sebelah kanan gerbang utama selalu ditempatkan ikon Yesus Kristus, Ikon lainnya adalah ikonnya bunda Maria, Johanes Pembaptis, dan nama orang kudus yang kepadanya gereja ditu didedikasikan.
Di depan Ikonostasion terdapat juga kursi Uskup. Uskup akan berada di sana ketika ia memimpin liturgi suci atau ibadah lainnya selama ibadah berlangsung. Imam di Gereja Orthodox, ketika menyelenggarakan ibadah akan selalu berdiri di altar menghadap altar (menghadap :Timur ) sehingga baik Imam dan jemaat akan berdoa bersama-sama kepada Bapa di surga.
Ruang mahakudus berisikan: altar kudus, yang menggambarkan tempat di mana Kristus diletakkan di dalam kubur dan pada hari ketiga, bangkit. Sebuah salib, berdiri di belakang altar. Di atas altar adalah peralatan-peralatan kudus yang digunakan untuk menguduskan roti dan anggur untuk perjamuan kudus termasuk cawan kudus dan sendok kudus. Di atas altar biasanya diletakkan juga satu Antiminsion, Kitab Injil. Antiminsion terbuat dari kain sutra yang digunakan Perjamuan Kudus. Setiap antiminsion biasanya diisi dengan tulang-relik orang kudus. Antiminsion diresmikan/disyahkan ketika sebuah gereja yang ditahbiskan oleh seorang uskup. Uskup agung setempat akan membubuhkan tanda tangannya di dalam setiap antiminsion dan dibagikan kepada semua gereja yang ada diwilayah keuskupannya.
Liturgi suci hanya dapat dilakukan sekali sehari di atas satu Antiminsion Jikalau terpaksa ada diselenggarakan liturgi suci yang kedua di atas altar yang sama, maka antiminsionnya harus diganti dengan antiminsion yang lain. Ini berarti bahwa setiap paroki atau jemaat lokal dapat merayakan Perjamuan Kudus hanya satu kali dalam sehari, dalam rangka mengekspresikan kekatolikan Gereja dengan menghindari “Perjamuan Kudus Pribadi”.

IKON-IKON
Istilah ‘ikon’ berasal dari kata Yunani eikona, yang berarti gambar. Gereja Orthodox percaya bahwa ikon Kristus dan ikon bunda Maria untuk pertama kalinya dilukis oleh rasul Lukas Penulis Injil. Ikon ini penuh dengan simbolisme yang dirancang untuk menyampaikan informasi tentang orang dan peristiwa yang digambarkannva. Untuk alasan inilah, pembuatan ikon cenderung baku, mengikuti metodologi yang ditentukan bagaimana melukis ikon orang tertentu, termasuk bentuk rambut posisi tubuh, pakaian, dan wama yang dipergunakan.
Pada umumnya pembuatan ikon, bukanlah kesempatan untuk membuat suatu ekspresi artistik, karena masing-masing iconographer membawa visi atau theologia untuk potongan ikon. Patung-patung berdiri (tiga dimensi penggambaran) hampir tidak ada di dalam Gereja Orthodox Timur. Hal ini disebabkan oleh penolakan terhadap masa penyembahan kafir Yunani, dan sebagian lagi karena ikon dimaksudkan untuk menunjukkan sifat rohani manusia, bukan tubuh sensual duniawi.
Ikon tidak dianggap oleh Gereja Orthodox Timur sebagai penyembahan berbala. Penggunaannya jelas dijabarkan oleh konsili ekumenis ke-7. Pembenaran penggunaan ikon-ikon memanfaatkan logika berikut: Sebelum Allah mengambil bentuk manusia dalam Kristus, tidak ada yang bisa digambarkan tentang Allah. Setelah Allah menjadi daging, penggambaran itu mungkin. Seperti Kristus adalah Tuhan, maka dibenarkan untuk terus dalam pikiran seseorang gambar Allah-menjelma. Demikian juga, ketika seseorang menghormati ikon, ia bukannya meoghonnati kayu atau cat melainkan memberikan rasa hot-mat yang mendalam terhadap individu orang kudus yang tergambar dalam icon tersebut. Jadi ketika seseorang mencium foto yang dikasihinya, ia bukan berarti mencium atau menghormati kertas foto tersebut melainkan dia yang tergambar di foto tersebut. Agios Basilios Agung mengatakan, Penghargaan atau penghormatan terhadap ikon, harus selalu sampai ke pola dasarnya. Dengan pengertian inilah, maka penghormatan terhadap manusia yang dimuliakan (orang kudus) yang diciptakan menurut gambar Allah, selalu merupakan pemujaan terhadap citra ilahi, dan karena Tuhanlah sebagai dasar pola dasarnya.
Ikonostasion. juga disebut templon, adalah dinding tempat menaruh ikon-ikon atau gambar-gambar kudus lainnya. Ikonostasion inilah yang memisahkan ruang kudus (Nave) dengan ruang mahakudus (sanctuary). Di samping pengertian di atas, ikonostasion juga menijuk pda ikon berdiri yang dengan mudah bisa dipindah-pindahkan di dalam gereja atau di luar gereja. Ikonosiasion modern muncul dari lemplon Bizantium ke bentuk yang lain di sekilar abad kesebelas. Perubahan ikonostasion ini mungkin berkembang pesat sekitar abad yang ke-empat belas dengan bangkitnya gerakan monachisme (Hesychast), khususnya Ikonostasion Gereja Orthodox Rusia yang terbuat dari kayu-kayu yang diukir dengan sangat indah. Langit-langit yang bertingkat-tingkat di Ikonotasion Gereja Otthodox Rusia dirancang oleh Audrey Rublyov yang dijumpai -di katedral dari Dormition Orthodox Church di Vladimir di 1408 ses. Masehi. Pemisahan antara ruang mahakudus dengan ruang kudus oleh Ikonostasion tidaklah wajib, meskipun itu adalah praktek yang lazim berlaku. Tergantung pada keadaan, peran Ikonostasion dapat dimainkan oleh batu, ukiran panel, layar, tirai, pagar, tali atau tali, atau hanya ikon yang berdiri, atau tidak menaruhnya sama sekali.

SA LIB
Penggambaran Salib dalam Gereja Orthodox Timur banyak dan bermacam. Beberapa membawa arti khusus. Tri-Bar Cross memiliki tiga palang daripada satu batang yang biasanya terpasang. Palang atas kecil menunjukkan tanda Pontius Pilatus dipakukan di atas kepala Kristus. Ini sering ditulis dengan singkatan: INRI yang berarti “Yesus Nazaret, Raja Orang Yahudi”, namun ini sering diganti atau diperkuat dengan frase “The King of Glory” dalam rangka untuk menjawab pernyataan Pilatus dengan penegasan Kristus, “KerajaanKu bukan dari dunia ini“. Ada juga palang yang miring di bawah ruang salib. Hal ini ditaruh untuk menopang berat badan Yesus; dia juga tempat untuk memakukan kedua kakinya dan sekaligus memperpanjang penderitaan Yesus di kayu salib.

JENIS-JENIS IBADAII PELAYANAN

Ibadab pelayanan dalam gereja Orthodox bisa dilakukan setiap hari. Ada perayaan ibadah yang sudah tetap dan ada. Peilayanan yang selalu berubah sesuai dengan penanggalan gereja. Pelayanan di dalam gereja harus melibatkan baik kaum awam maupun rohaniawan. Liturgi suci atau ibadah lainnya tidak bisa diselenggarakan oleh seorang rohaniawan saja, paling tidak harus melibatkan seorang umat yang menikmatinya. Biasanya, semua pelayanan yang dilakukan pada setiap hari hanya di biara-biara atau katedral, sementara gereja-gereja paroki mungkin hanya melakukan pelayanan pada akhir pekan dan hari-hari raya besar lainnya. Perayaan Liturgi Suci dirayakan untuk mengenang satu orang kudus atau peristiwa kudus lainnya. Karena kesibukan umat pada siang harinya, maka sebagai jalan alternatif biasanya diselenggarakanlah ibadah Liturgi Semalam Suntuk, All-Night Vigil (Yunani: Agrypnia, Aypinrvw). Ibadah ini dirayakan dari larut malam pada malam pesta sampai pagi hari berikutnya. Karena sifatnya meriah biasanya diikuti dengan pesta makan bersama oleh jemaat.
Pelayanan Liturgi Ilahi, hanya dapat dilakukan sekali sehari pada satu mezhah (beberapa gereja memiliki beberapa altar dalam rangka untuk mengakomodasi jemaat besar). Setiap imam mungkin hanya merayakan Liturgi Suci sekali sehari. Berasal dari kebudayaan Yahudi, hari liturgis dimulai pada saat matahari terbenam. Siklus ibadah sepanjang hari adalah sehagai berikut:

1.Vesper - (Yunani: Esperinos ) Sundown, atmi Sembahyang Senja. Ini adalah awal hari dari suatu liturgi suci.
2.Compline (Yunani: Apodeipnon lbadah setelah makan malam) Ibadah Setelah makan malam” biasanya diselenggarakan sebelum seseorang masuk isterahat malam/tidur.
3.Midnight Office (Yunani: Mesonyktikon, ibadah-ibadah ini biasanya hanya disajikan di biara-biara.
4.Matins (Yunani Orthios =Sembahyang Pagi) ibadah ini dilayankan sebelum matahari terbit. Ibadah ini bisa dilakukan apakah ada Liturgi suci atau terpisah dari liturgi suci.
5.Perjamuan Kudus. Setiap ada Liturgi suci dalam gereja Orthodox selalu diselenggarakan Perjamuan Kudus. Perjamuan Kudus adalah pusat sentral dari seluruh ibadah gereja Orthodox.
6.Jam-jam Sembahyang: Selain ibadah yang disebut di atas masih ada ibadah jam sembahyang lain lain, misalnya: Jam Pertama, hari Ketiga, Jam Keenam, Jam Kesembilan.
a. Jam Pertama diselenggarakan setelah jam sembahyang pagi (Oithros).
b. Jam Ketiga dan Jam Keenam diselenggarakan sebelum Liturgi Suci.
c. Jam Kesembilan diselenggarakan sebelum jam sembahyang sore (Esperinos)
Liturgi Suci adalah pesta perayaan Perjamuan Kudus. Meskipun biasanya diselenggarakan antara lain Sembayang Keenam dan Jam Sembahyang Kesembilan, ia tidak dianggap sebagai bagian dad sikius ibadah sembahyang harian. Liturgi suci tithk dirayakan selama Puasa Agung berlangsung. Namun untuk memenuhi kebutuhan rohani umat yang ingin mengambil perjamuan kudus selama puasa agung, maka, pada hari Minggu ketika Liturgi Suci diselenggarakan, maka dibuatlah bagian khusus dari Perjamuan Kudus yang sama-sama dikuduskan pada saat Liturgi suci tersebut untuk dipergunakan pada hari-hari dimana diselenggarakan Liturgi yang disebut: Liturgi “Presanctified”, Liturgi yang sudah disucikan sebelumnya.

PENGIDUNG
Ibadah di Gereja Orthodox hampir dinyanyikan seluruhnya khususnya ibadah Liturgi Suci. Ibadah Liturgi suci ini adalah semacam dialog dalam kidung anlara rohaniwan dan umat (yang sering diwakili oleh paduan suara atau Yunani: psalti, Inggris: Cantor). Kidungan yang dinyanyikan harus mengikuti irama musik yang sudah ditentukan oleh kalender gereja. Hampir tidak ada yang dibaca dalam suara bicara nomial, kecuali pada saat berkhobah. Hal ini dilakukan karena suami manusia dipandang sebagai instrumen yang paling sempurna dalam menyampaikan pujian. Alat musik (organ, gitar. piano, dll) tidak umum digunakan untuk mengiringi liturgi suci. Gereja telah mengembangkan delapan irama/nada, (Yunani : Ocloedios) yang di dalamnya nyanyian dapat ditetapkan, tergantung pada waktu tahun, hari-hari raya, atau pertimbangan lain yang tercantum dalam buku Typikon.
Ada hanyak versi dan gaya yang tradisional yang dapat diterima dan ini sangat berbeda-beda dalam setiap budaya. lni adalah umum, terutama di Amerika Serikat, mereka memiliki paduan suara yang bagus, di Yunani hanya beberapa orang pengidung tanpa diiringi musik. Di Rusia, mereka membuat gaya sendiri dan hal ini dimotori oleh komposer musik Gereja Rusia yang sangat terkenal: chaikovsky dan Rachmaninoff.

DUPA
Dupa, sebagai bagian dari warisan agama Yahudi (Kel. 30) yang diturunkan turun temurun, maka di Gereja Orthodox - dupa juga digunakan setiap kali ibadah diselenggarakan Secara tradisional, bahan dasar dupa dibuat dari getah kemenyan (boswellia thurifera), atau juga dari gelah pohon cemara Biasanya getah-getah ini dicampur dengan berbagai extrak bunga yang harum. Dupa melambangkan indahnya doa-doa orang-orang kudus yang naik kepada Allah (Maz: 14 : 1,2 Why. 5:8, 8:4).
Dupa dibakar dalam tempat pedupaan yang berwarna emas. Pedupaan ini digantung dengan menggunakan 4 (empat) tali sebagai gantungannya, yang melambangkan kehadiran Allah Tritunggal Mahakudus. Dua rantal, mewakili dua surat Kristus: kemanusiaan dan keilahian-Nya. Satu rantai menggamharkan Sang Bapa dan satu rantai lagi untuk menggambarkan Sang Roh Kudus & Yang berbentuk cangkir tempat dupa, menggambarkan bumi dan penutup dupa adalah menggambarkan langit.
Dalam tradisi Yunani dan Syria ada 12 lonceng kecil digantung di sepanjang rantai ini mewakili 12 rasul (biasanya tidak ada lonceng di Slavia Tradisi), Ada juga 72 lingkaran kecil yang mewakili 72 penginjil. Arang mewakili ruang-ruang berdosa. Bara api menggambarkan Sang Roh Kudus dan bara dupa menggambarkan perbuatan baik Dupa juga menggambarkan anugerah Allah Tritunggal Mahakudus. Dupa digunakan oleh imam, diakon dengan cara mengayunkan ke depan dan ke belakang. Yang didupai biasanya keempat sisi mezbah, benda-benda Perjamuan Kudus, rohaniwan, ikon, jemaat.

KEHIDUPAN MEMBIARA
Semua orang Kristen Orthodox diharapkan untuk berpartisipasi dalam hidup pertarakan, sebagai tanggapan terhadap perintah Kristus yang mengatakan:
“Setiap orang yang mau mengikut Aku, Ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku” (Mrk 8:34). Karena itu semua orang Kristen dipanggil untuk meniru Kristus, dalam satu cara atau lebih, karena Kristus sendiri telah menyangkal diri-Nya sendiri dengan memanggul salib dalam perjalanan pengorbanan diri-Nya secara sukarela. Namun, orang awam tidak diharapkan untuk hidup dalam pertarakan yang ekstrim, karena hal ini hampir tidak mungkin sementara melaksanakan tanggungjawab normal kehidupan duniawi mereka. Mereka yang ingin melakukan hidup pertarakan hanya bisa secara efektif jikalau mereka memisahkan diri dari dunia dan hidup sebagai biarawan: biarawan dan biarawali
Sebagai seorang pertapa yang gigih, ia menggunakan doa dan puasa sebagai senjatanya dalam peperangan rohani melawan nafsu mereka. Para biarawan memiliki tempat yang penting dan istimewa di dalam Gereja. Bagi sebagian orang, kehidupan yang semacam ini sering dianggap sebagai kehidupan yang tidak masuk akal. Para petapa di Gereja Orthodox biasanya mereka memiliki rambut danjenggot panjang.
Ada tiga jenis-jenis kelompok biarawan. Mereka yang tinggal di biara-biara di bawh satu saluran yang ketat disebut: coenobitic (Yunani). Setiap biara dapat merumuskan aturan sendiri, dan meskipun tidak ada perintah agama di Gereja Orthodox namun ada beberapa pusat mohastik yang sangat dihormari seperti Gunung Aihos sangat berpengaruh. Ada petapa yang hidup sendirian yang dikenal dengan nama Eremitic atau Hermit. Ini adalah kerinduan dari banyak orang yang memasuki hidup membiara untuk akhirnya menjadi pertapa yang gigih. Kehidupan membiara yang sangat keras hanya diizinkan oleh Abbot (pemimpin biara) kepada biarawan yang sudah maju tingkat kerohaniwanannya. Petapa biasanya masih berhubungan dengan biara induk tetapi si biarawan hidup dalam pengasingan jauh dan biara utama mereka akan melihat kebutuhan fisik para biarawan eremilie.
Di antata para rahib ini adalah komunitas yang “semi-eremitic” yang disebut dengan istilah: sketes, di mana satu atau dua biarawan berbagi berkumpul sesuai dengan peraturan masing-masing kelompok. Namun para sketes ini jikalau beribadah, mereka berkumpul bersama di kapel pusat atau “katholikon”, untuk perayaan liturgi, Pengalaman rohani yang diperoleh para petapa dan penjuangan mereka membuat biarawan pertapa lebih disukai umat untuk dikirim sebagai misionaris. Uskup hampir selalu dipilih dan antara para biarawan.
Ada beberapa seminari Orthodox yang membina hubungan baik dengan biara-biara dimana mereka menggabungkan persiapan pentahbisan rohaniawan dengan mahasiswa mereka. Biarawan yang telah ditahbiskan menjadi imam disebut hieromonk (Yunani: ieromonachos); biarawan yang telah ditahbiskan ke jenjang diakonat disebut hierodeacon (Yunani: icrodiakonos). Tidak semua biarawan hidup di biara-biara, beberapa hieromonks melayani sebagai imam di gereja paroki sehingga mempraktekkan “monastisisme di dunia.
Sebutan “Fathers, Yunani: Pateres” dialamatkan untuk biarawan yang telah dikaul. kekal, sementara sebutan “adelfis” ditujukan kepada inereka yang hidup sebagai biarawan biasa (bukan rohaniwan). Demikian panggiJan “Mothers, Yunani: Gerontissa,” dialamatkan untuk biarawati yang telah kaul kekal, sementara mereka yang hidup sebagai biarawati biasa disehut: Adelfi.

MASA DEPAN TRADISI TEOLOGI GEREJA-GEREJA DI SUMATERA UTARA

Ditengah-tengah perubahan masyarakat

Gereja-gereja batak bekas asuhan RMG sebagai contoh :
1.Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS)
2.Gereja Kristen Protestan Angkola (GKPA)
3.Gereja Kristen Protestan Pakpak Dairi (GKPPD)
4.Huria Kristen Indonesia (HKI)
5.Gereja Mission Batak (GMB)
6.Gereja Punguan Kristen Batak (GPKB)
7.Gereja Kristen Protestan Indonesia (GKPI)
8.Gereja Kristen Lutheri Indonesia (GKLI)

1.Pergeseran posisi gereja-gereja Sumatera Utara dalam perubahan jaman
2.Tradisi teologis yang terlupakan
3.Pengorganisasian gereja yang tercabut dari akar
1.Pergeseran posisi gereja-gereja sumatera utara dalam perubahan jemaat
Gereja-gereja batak berdiri October 7, 1861
Tanggal lahir ini didasarkan pada konferensi pertama para missionaris yang dihadiri oleh:
Heine, Klammer, Betz dan Van Asselt
In Sipirok, South Tapanuli, North Sumatera

Dunia modern menjelang munculnya Kristen batak
-Perkembangan perhubungan, telekomunikasi, sistem perekonomian di Eropa
-Jawa sebagai bagian pinggir pasar Eropa mengalami perkembangan yang kurang lebih sejajajar
-Jawa muncul sebagai pusat modernisasi dan masyarakat industri dan pulau-pulau lain di Hindia Belanda sebagai pinggiran
Modernisasi kolonialisme dan “hamajuon” (peradaban) atas dasar injil
-Perkebunan di Sumatera Timur dibawah asuhan kolonialisme penjajah – menawarkan perkembangan yang paling mutakhir.
-Proses “hamajuon” atas dasar injil di tanah batak oleh Rheinische Missionsgesellschaft (RMG) – menawarkan perkembangan yang paling mutakhir
Gereja batak muncul sebagai institusi modern dalam konteks dimana injil menjadi pengendali modernisasi menuju peradaban
Sekolah sebagai posisi kunci
Unsur-unsur menyumbang bagi gereja batak sebagai gereja pengendali modernisasi menuju peradaban :
1.Pola hidup berjemaat (spiritualitas menuju transformasi sosial) dan peran sekolah didalamnya.
2.Spiritualitas kemandirian (melalui persiapan pelayan menuju transformasi sosial) dan peran sekolah didalamnya
3.Peranan musik gerejawi barat dan peran sekolah didalamnya


Kompleks gedung gereja (Pargodungan)
Seminari
(Parasourat - Pansurnapitu - Sipoholon)
SPIRITUALITAS
-Ketaatan
-Kesederhanaan
-Kemurnian hati
ILMU :
-Teologi
-Musik
-Pedagang
-Eksakta / Sosial lainnya
Irama hidup

Solidaritas Mazmur Produksi

2.Spiritualitas kemandirian (hamajuaon) menjalar ke jemaat-jemaat melalui sekolah di bawah pimpinan para guru zending.
-Transformasi sosial terjadi di tingkat desa
-Transformasi sosial merata tanpa mengenal pusat dan pinggiran
-Transformasi sosial terintegritas tanpa mengenal pembedaan “hal-hal rohani” dan “hal-hal jasmani”.
-Peran sosial muncul dengan sendirinya sebagai akibat logis dari spiritualistis kemandirian
Musik gereja barat di tanah batak
-Musik gerejawi barat yang dipengaruhi oleh zaman barok dan klasik diperkenalkan melalui buku nyanyian gerejawi
-Pengaruh : JS Bach, GF Haendel, J Haydn, L. Beethoven, WA Mozart
-Musik gerejawi barat dari abad 20 diperkenalkan oleh Sr. Elfrieda Harder
-Kedua kumpulan Buku Nyanyian disatukan tahun 1990-an
Musik gerejawi barat membentuk kepribadian masyarakat kristen batak
-Melalui guru zending di Sekolah-sekolah
-Melalui kelompok musik tiup
-Melalui paduan suara
Pengaruh musik gerejawi barat
-Masyarakat yang memiliki kecerdasan (intelektual, emosional dan spiritual)
-Masyarakat dengan sikap budaya yang positif
-Masyarakat yang berperan dalam tingkat nasional dan internasional pada tahun 1950-1960an
Hilangnya peranan gereja batak sebagai gereja pengendali modernisasi

Munculnya globalisasi ekonomik
1.Berbaurnya “hamajuon” atas dasar injil dan modernisasi kolonialisme
2.Kemenangan kolonialisme mengendalikan modernisasi
Dampak lanjutan dari munculnya globalisasi ekonomik
1.Hilangnya peran gereja untuk transformasi sosial
2.Hilangnya spiritualitas kemandirian menjadi ketergantungan pada nilai-nilai globalisasi ekonomik
3.Mundurnya Musik Gerejawi

3. Kemunduran Musik Gerejawi di Gereja-gereja Batak
-Sejak tahun 1940 – 1950 an
-Bangkit tahun 1960 an, tetapi tidak mampu menyamai zaman sebelumnya
-Musik liturgi di tangan generasi yang tidak memahami musik sepenuhnya
-Munculnya musik industri

Tradisi Teologis yang terlupakan
Identitas Lutheran

Pertama
-RMG adalah hasil kerjasama antara berbagai orang/lembaga yang datang dari berbagai tradisi Konfesi Evangelis dan Gereja-gereja Evangelis hasil reformasi Martin Luther
-Oleh karenanya tidak ada keinginan RMB untuk mengarahkan perhatian daerah-daerah PI RMG untuk memilih salah satu konfesi atau bentuk kegerejaan Eropa itu.

Kedua
-RMG tidak melakukan propaganda untuk memperkenalkan satu-satu golongan kesalehan, melainkan
-Hanya melakukan Misi, yang akan memenangkan jiwa-jiwa manusia dan bangsa-bangsa untuk Tuhan,
-Jadi bukkan untuk mengaitkan mereka kepada satu-satu Gereja di Eropa

Ketiga
-Missionaris mempertimbangkan :
-Tidak ada manfaatnya bagi “Kristen Sending” kalau para utusan RMG mau memperkenalkan mereka pada berbagau arus konfesional dari Gereja-gereja Evangelis di Eropa
-Tidak ada manfaatnya mendorong “Kristen Sending” untuk memilih salah satu dari kelompok kegerejaan itu



Keempat
-Adalah anugerah Tuhan yang perlu disyukuri bahwa gereja-gereja sending yang muda itu terhindar dari perpecahan-perpecahan konfesional

Kelima
-RMG ingin membangun satu Gereja injili yang bisa menampilkan dirinya dalam bentuk-bentuk budayanya setempat disamping bentuk-bentuknya yang terdiri dari unsur-unsur alkitabiah

Keenam
-Gereja-gereja yang berdiri di lapangan PI RMG itu adalah “gereja-gereja bangsa/rakyat/masyatakat”, yang dibangun di atas para rasul dengan Yesus Kristus sebagai batu penjurunya
-Gereja- gereja tersebut akan mempunyai bentuknya sendiri, apabila gereja-gereja itu sudah mencapai batas-batas keseluruhan bangsa
-Janganlah mencoba-coba memaksakan sebuah bentuk bagi gereja-gereja bangsa itu yang pada hakekatnya selalu asing baginya.


Ketujuh
-Dokumen-dokumen konfensasi buat gereja-gereja sending kita ialah pengakuan iman rasuli, katekhismus Martin Luther dan Heldelberg
-Dan apabila jemaat-jemaat itu atau para pemimpinnya sudah mempunyai kedewasaan yang cukup matang, barulah terbuka jalan untuk menggunakan konfesi Augsburg

Kedelapan
-Dalam rangka menghadapi dan melawan Misi balik Gereja Katolik Roma, yang saat ini dimana-mana sedang menerobos daerah-daerah Sending Protestant maka disarankan supaya para utusan RMG itu dan jemaat-jemaat Protestant itu memperlengkapi diri.
-Apabila Misi balik Gereja Katolik itu sedang mencoba memasuki jemaat-jemaat Protestant asuhan para utusan RMG itu, maka saat Itulah yang terbaik untuk mensosialisakan perbedaan- perbedaan ajaran dan tradisi peribadahan lainnya antara Gereja Injili ( Protestant) dan Gereja Katolik Roma.




Dampak dari ke 8 unsur tersebut:
Pertama : Corak identitas Lutheran jemaat kita dipengaruhi oleh pemberitaan Injil
yang tidak memihak pada salah satu Konfessi kegerajaan Eropa (tidak konfessionalistis)
-Namun pada akhirnya lebih mengedepankan Lutheran



Dampak dan ke 8 unsur tersebut:

2. Gereja-gereja kita tidak pernah disebut dengan “Lutheran” tetapi dalam mempertanggungjawabkan imannya di tengah kehidupan dunia, maka dia “digolongkan” sebagai “Lutheran”.

Sikap itu sejajar dengan ucapan Martin Luther tahun 1522 :

-Benarlah, melalui pertimbangan yang tepat, sebaiknya engkau jangan pemah mengatakan: Aku adalah Lutheran atau Papist Sebab tidak satu pun darinya yang mati bagimu, atau yang menjadi tuanmu.
-tetapi jika engkau yakin bahwa ajaran Luther sesuai dengan Injil, dan ajaran Paus tidak, maka engkau jangan meninggalkan Luther sepenuhnya Adalah karena ajaran itu bahwa mereka menyerangmu dan menanyakan padamu apakah engkau Lutheran..,’

3. Para Missionads terlihat lebih mengedepankan Lutheran, dapat diamati dari beberapa kasus:
a.Walau pun Tala lbadah minggu yang dikenalkan bukan lutheran, tetapi dijalankan dalam liturgi lutheran melalui penekanan akan tahun liturgi.
b.Lectionary (daftar bacaan Alkitab sepanjang tahun) yang digunakan lebih mendekati tradisi Lutheran daripada tradisi Calvinis
c.Terjemahan kathekhismus heidelberg (Kalvinis) yang sudah sempat beredar di jemaat, ditarik kembali dan digantikan dengan buku Kathekisasi karangan seorang teolog Lutheran di Jerman
d.Ketika nyanyian yang dikumpulkan Suster Elfirede Harder muncul, missionaris tidak memasukkannya kedalam bagian ibadah karena menurut teologi musik Liturgi Lutheran, “haluan na gok” kurang memenuhi syarat

Akibatnya bagi “identitas”
1.Kita tidak harus mencari identitas, tetapi mengkaji ulang.
2.“Identitas Lutheran” kita tidak harus dikenali dan bentuk luar saja, tetapi dimungkinkan untuk mengenalinya dalam “semangat jiwa & hidup berjemaat itu sendiri.


3. Pengorganisasian Gereja yang tercabut dari akar Efesus 4:11-16

11 Dan Ialah yang memberikan baik rasul-rasul maupun nabi-nabi, baik pemberita-pemberita Injil maupun gembala-gembala dan pengajar-pengajar,
12 untuk memperlengkapi orang-orang kudus bagi pekerjaan pelayanan, bagi pembangunan tubuh Kristus,
13sampai kita semua telah mencapai kesatuan iman dan pengetahuan yang benar tentang Anak Allah, kedewasaan penuh, dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus,
14 sehingga kita bukan lagi anak-anak, yang diombang-ambingkan oleh rupa-rupa angin pengajaran, oleh permainan palsu manusia dalam kelicikan mereka yang menyesatkan,
15 tetapi dengan teguh berpegang kepada kebenaran di dalam kasih kita bertumbuh di dalam segala hal ke arah Dia, Kristus, yang adalah Kepala.
Hasil Pertemuan Alumni STT-Jakarta Se-Sumatera Utara di Aula Kantor Pusat GMI, Medan

Atas berkat Tuhan Kita Yesus Kristus, Raja Gereja, maka telah dilaksanakan pertemuan Alumni STT-Jakarta se-Sumut di Aula Kantor Pusat Gereja Methodist Indonesia (GMI) di Medan, pada tanggal 30 September 2009. Jumlah yang hadir dalam pertemuan tersebut sebanyak 53 orang yang terdiri dari berbagai denominasi gereja se-Sumatera Utara.

Sabtu, 27 Maret 2010

Pastoral Care for Those Affected by HIV HIV/AIDS Focus Paper #22, November 1993 Dear Network Members: Sumber: http://gbgm-umc.org/health/hivfocus/focus022.cfm

One question we are most frequently asked is "How do I talk to or counsel with a person living with HIV/AIDS?" This question is not only asked by care partners, friends, and family but also by church professionals, clergy and lay. Even though most religious professionals have had to take some course(s) in pastoral counseling, they often feel inadequate when it comes to providing emotional/spiritual support to individuals and families affected by HIV/AIDS.
This edition of the HIV/AIDS Ministries Network Focus Paper is devoted to providing some inights and practical assistance to anyone faced with responding to the emotional/spiritual needs of persons living with HIV/AIDS.
The emotional/spiritual needs of persons living with HIV/AIDS have never been more acute. HIV positive individuals are living longer than any time in the past 12 years. Because they are living longer, they have to deal with longer-term stresses. Increasing numbers of family members and significant others are choosing to care for the infected individual and also needing emotional/spiritual support themselves. More and more church and community members are coming out of the closet to let it be known that they or their loved one has HIV/AIDS. Increasingly they are seeking out and even demanding supportive, compassionate, and non- judgemental emotional/spiritual support from our religious communities.
In "Guidelines for the Giving of Pastoral Care to Those Infected/Affected by HIV/AIDS" and "10 Assurances of Pastoral Care for Those Infected or Affected by HIV/AIDS," the Reverend Don Nations provides the theological and psychological framework out of which appropriate emotional/spiritual support needs to take place. My own experience supports the notion that such a framework most adequately addresses the emotional/spiritual needs of persons infected with or affected by HIV/AIDS. However, read closely (and if necessary often) the reflections of Richard Cory and William Nunn in the U.M.C. Family HIV/AIDS Network concerning the pastoral care they experienced first hand (both appropriate and inappropriate emotional/spiritual support). They indicate clearly what they found helpful and harmful. All of us who find ourselves or choose to be care partners with persons living with HIV will do well to open ourselves to hear the voice of the Creator spoken through these two stories of faith.
In your Focus Paper mailing, you will find information and/or order forms for a number of new resources. One resource I would invite you to secure is the book recently published by the Department, HIV/AIDS Ministries: A Practical Guide for Pastors by Pat Hoffman. The Department believes it is a basic HIV/AIDS ministry resource which every clergy, lay church professional, or anyone seeking to be in ministry with persons living with HIV/AIDS will find helpful.
Grace & Peace,
Charles Carnahan
Associate General Secretary Executive for HIV/AIDS Ministries


Guidelines for the Giving of Pastoral Care to Those Persons Who are Infected/Affected by HIV/AIDS
by Don Nations
1. The First Question to Ask is Not, "How did You Get Infected?"
We do not ask someone who has cancer, lupus, or suffered a heart attack how they got sick; so why should we ask that of someone with HIV? When someone tells us their HIV status, they are usually dealing with the present and future more than the past. There may be lifestyle issues that need to be discussed at a future time, but our initial reaction needs to be compassion-- not questioning.
2. Avoid the "Blame Game."
Spending time blaming people who are HIV positive for their illness distracts from the most important issues. The truth is that we have all done things in our life that involved risk. For the most part, we have been spared the consequences of those acts. We are hypocritical when we blame others if they suffer the consequences of their acts. The "blame game" prevents us from giving beneficial pastoral care to those who need it.
3. Compassion is the Key.
Compassion is being a channel of God's grace and coming to the side of one who is hurting. We suspend judgmentalism and focus on the needs of others. Compassion is shown in gentleness, kindness, acceptance, and love. Pastoral care that lacks compassion is not helpful. Compassion is the way of Jesus.
4. Confront Your Own Fears.
Fear leads some pastors and churches to reject people infected/affected by HIV/AIDS. They may refuse to visit or care for them. We must confront our fears with facts, put judgmentalism and prejudice behind us, and get on with the privilege and obligation of ministry.
5. Focus on Life, Not Death.
A person infected with HIV will eventually die. So will a person who is not infected by HIV. We all will die; none of us knows when death will arrive. Therefore, our focus needs to be on how we will live the rest of our life. Focusing only on death gives the impression that we have given up hope and are just waiting for the person to die. Focusing on life declares that the person has a lot of living yet to do.
6. Let the Individual Set the Agenda.
Many of us like to be in control of everything, including the direction of our conversations. This approach can sabotage our best efforts. The earlier you are in your relationship with the person you are counseling the more they need to control the issues that are discussed. If you begin a relationship by making demands of the HIV positive person such as his/her immediate repentance, notification of family/partner(s), and acceptance of death, you are being, at best, unfair and unhelpful. At worst, you are being destructive.
7. Confidentiality is a Must.
We must keep the trust people place in us. Disclosing one's HIV status is often a difficult decision. It means becoming vulnerable and trusting another with a secret. Pastoral visitors are not free to tell others secrets entrusted to us. We do not tell spouses, church committees, pastors, or friends. If we break confidentiality, we may hurt the one who trusted us so much that he/she never reaches out for help again.
8. Act Like There is Hope.
HIV is not a situation completely devoid of hope. New medications are extending the lives of persons infected with HIV. A cure may be found. There is the power of prayer. Most importantly, we all have much living left to do. The gospel of Jesus Christ is a call to hope that this life is meaningful because God is working in our life and eternity will be spent in the presence of God.
9. Affirm the Worth of the Person.
All people are created in the image of God. All people inherently have great dignity and eternal worth. God's grace has gone out to all people and God, calling all people to a life filled with power, love, joy, and service to others. "God so loved the world" (John 3:16) means that there are no second class people. We must embody the message of love or we fail to offer the Gospel.
10. Feel Free to Show Emotion.
HIV/AIDS surfaces concerns about death, prolonged illness, lack of control of our lives, financial stability, transmission of the disease, prejudice, and more. The giving of good pastoral care requires that we confront these issues and get in touch with our own emotions about them. We must be careful, however, to respond to the needs of the person and not our own anxiety, fear, and pity. Our role is to be a pastor to them, not the reverse. Be emotionally present. Feel free to appropriately cry, laugh, or express other emotions when visiting with a person who has HIV.
11. Remember to Touch.
One of the tragedies of HIV is that many people are reluctant to touch someone who is HIV positive. Some of this hesitation is due to irrational fears about contracting HIV through casual contact. Others hesitate because they do not accept the HIV positive person or the lifestyle they are believed to have. Whatever the reason, refusing to touch someone who wants to be touched sends the message that we are not emotionally present for the person or that we do not accept the person. (We must also be sensitive to times when a person does not want to be touched for any reason or cannot be touched because of a physical condition.) Our willingness to touch shows our willingness to care.
12. Look for the Stages of Grief.
People who are infected/affected by HIV wrestle with the stages of grief. They deal with shock, denial, anger, bargaining, depression, and acceptance. People go through these stages in differing periods of time and may bounce back and forth between stages. People will grieve over their HIV status, an AIDS diagnosis, the loss of a job, becoming symptomatic, the loss of their future, the death of their friends, and the anticipation of their own death. Our job is not necessarily to move people through these stages but to help them deal with their present stage. We are called to offer support to our brothers and sisters during these difficult times.
13. Be Aware of the Psychosocial Issues Surrounding HIV/AIDS.
Those infected/affected with HIV deal with a variety of issues such as social isolation, rejection by friends and family, prolonged periods of illness, fear of what tomorrow will bring, the sometimes negative reactions of the religious community, reproductive decisions, guilt, and grieving. As givers of pastoral care, we need to recognize these issues and help people as they work their way through them. We also need to educate our community about HIV/AIDS so that it may respond supportively.
14. Expressions of Spirituality and the Experience of Spiritual Life Varies from Person to Person.
No one experiences God in the same way. Some people express their faith emotionally; others are quiet and contemplative. Some people enjoy singing; others prefer to listen. Some belong to a particular religious group; others do not. Some are very sure about their spiritual direction; others are searching and have a lot of questions. Such differences are not bad. They demonstrate the unique way God reaches out to all of us.
Since religious expressions differ, we must not require everyone to experience God the way that we do. We can not assume that we know another person's spirituality just because we know they are infected/affected by HIV. We must be present as pastoral guides who help people to find their own way on their spiritual journey.
15. Avoid Saying, "I Know How You Feel."
Even if we had similar situations, we cannot completely understand how anyone else is experiencing a particular situation. More helpful responses include, "I hear your pain"; "I am sorry"; "I am here for you"; "I understand this is a difficult time for you"; "What can I do to help?"; and "How do you feel?" Sometimes a quiet hug is appropriate and needed.
16. Get Educated.
To give helpful, consistent pastoral care, educate yourself about HIV. Learn the basic facts about modes of transmission, progression of the infection, common illnesses and medications, and the psychosocial issues that surround HIV/AIDS. Becoming educated about HIV communicates to people with HIV that you care about them. You can find out about HIV in many ways: books, tapes, seminars, volunteer opportunities, HIV/AIDS hotlines, American Red Cross programs, denominational resources, hospitals, and more. However you choose to become educated, do it today.
17. Pastoral Care with a Person Infected/Affected by HIV/AIDS is Usually a Long Process.
We cannot heal every wound and solve every problem in one hour. Pastoral care with someone whose life has been touched by HIV requires time, patience, and the development of a relationship. Our role is to come along side of people and support them, to be present with them. It is not to answer every question and give the solution to every problem. We must be patient as people work through the stages of grief and the myriad of issues that surround HIV.
18. Know Your Limits.
HIV brings us into contact with issues such as counseling, bio-ethics, living wills, medical treatment, grief, guilt, stress reduction, and nutrition. None of us can adequately deal with all of these issues. We must realize when we have reached our limits and be willing to refer the client to another person.
19. Every Pastoral Care Situation Can Be Used by God to Make Us into the People God Wants Us to Be.
God meets us in the people we encounter. People living with HIV, through the issues they raise, help us confront fear, death, frustration, impatience, prejudice, and spirituality. Walking through these issues with our them can be mutually beneficial. We must always be open to growth and personal change.
20. Doctrine, Dogma, Denominationalism, and Guidelines are Not Adequate Substitutes for Caring, Sharing, and Love.
We all operate within the structure of a religious organization. That does not mean, however, that all we have to offer is that structure. We must add to that framework caring, personal sharing, and love. Unless we become personally involved, we will fail to show God's love to others and fail to follow the example of Jesus.


Ten Assurances of Pastoral Care for Those Infected or Affected by HIV/AIDS
by Don Nations
Assurance #1: God Loves All of Us.
Scripture: John 3:16-18; John 10:27-29; Romans 8:35-39; I John 4:7, 8
God is love. God's love is extended to all people. It has no end and is unconditional. God's love has no "ifs, ands, or buts." No one and no thing can separate us from the love of God that is in Jesus.
We are all precious to God. Jesus lived, died, and was raised from the dead in order to demonstrate God's love for us. Our love for God is demonstrated by our loyalty to Jesus and our love for one another.
Even when we feel unloved or unlovable, God's love is constant. Even when we disappoint ourselves, God continues to love us. Even when others turn their love away from us, God's love for us never waivers.
HIV often makes us feel separated from others-- our families, our friends, our partner, even God. The Scriptures assure us that nothing can separate us from God's love-- not even HIV. In the midst of the challenges of HIV/AIDS, we can be assured that God still loves us.
God accepts us right where we are. That does not mean that God approves of all we do or that God is willing to leave us just the way we are. It does mean that God's acceptance is unconditional. We are loved!
Assurance #2: God Will Draw Near to Us.
Scripture: Psalm 145:18; Ephesians 2:13-14, 19; Hebrews 10:19-22; James 4:7, 8
An affliction far more common than AIDS is "'FRAIDS," an irrational fear of HIV/AIDS and those infected/affected by HIV. This fear produces anger, discrimination, spreading of myths, and avoidance of those infected/affected by HIV/AIDS.
God does not have 'FRAIDS! God desires intimate contact with us. God wants to hear our concerns, fears, hopes, dreams, and questions. God wants to cry with us and laugh with us. God wants to hear our prayers and to talk with us.
When HIV touches our life, we often experience the end of some relationships. Because we do not want to be hurt again, we can become reluctant to reach out to others.
God wants us to take the chance and reach out. God will never hurt us. God will never turn away from us. God will not cut off our spiritual relationship with Jesus Christ. We can be sure that if we reach out to God, we will find that God is already reaching out to us. If we draw near to God, God will draw near to us (James 4:8).
Assurance #3: God Offers Forgiveness.
Scripture: Psalm 130:1-4; Isaiah 1:18-19; I John 1:9-2:2
Guilt! We have all felt it. We have carried it around with us. We have been its victim. The good news is that God has provided a way for us to unload our burden of guilt. That way is God's forgiveness of our sins through Jesus.
God's grace and forgiveness is greater than our sin. Forgiveness is God's work. Receiving God's forgiveness allows us to forgive ourselves for the mistakes we have made. It also allows us to forgive those who have hurt us.
Letting go of guilt is a healthy choice. It frees up emotional energy for us to deal with the other issues of life. It liberates spiritual energy so that we can continue our spiritual journey. It releases physical energy so that we can keep our bodies healthier.
Forgiveness also helps each of us to be honest with ourself. We must admit that we are not perfect and that some things in our life must change. This admission helps us to stop wasting time. Then we can spend our time more constructively, doing the things that make us stronger.
Forgiveness is a gift that truly is good for us.
Assurance #4: God is with Us.
Scripture: Joshua 1:5; Psalm 23; Matthew 28:18-20; Hebrews 13:5, 6; II Corinthians 4:7-10
When we are HIV positive, we can feel very isolated and alone. We need to know that someone will be there for us, even in the hard times of life. God will never desert us or leave us alone. Many things can make us feel isolated and alone. HIV/AIDS scares some people away from us. Sometimes HIV scares us away from other people. Managing our health, visiting doctors, and dealing with changing working conditions steals much of our time, thus often preventing us from spending time with others.
God is with us, in good times or bad; in health or sickness; in strength or weakness. We may have to endure many things in this life, but we do not have to be lonely. God has promised to remain with us forever and ever-- in this life and in the next. We are not alone.
Assurance #5: God Brings Good into Our Life.
Scripture: Romans 8:28; James 1:2-4, 12, 17; I Peter 1:3-9
God does not make bad things happen to us. God does not make us sick. God brings good into our life.
Bad things happen for a variety of reasons. We suffer because of the mistakes of others. We suffer because our decisions have brought negative consequences. We suffer because of the evil structures of society. Sometimes there is no satisfactory reason for our suffering.
God promises to help us bring good results out of difficult situations. HIV has affected our lives. The question we must answer is, "How are we going to react to this reality of life?" We can choose to live in denial or face our mortality and be freed from the fear of death. We can choose to withdraw into ourselves or reach out to find the support we need and offer support to others. We can choose to run from God or to reach out and have a relationship with a God who offers us goodness, love, and care.
Assurance #6: God Gives Us a Purpose.
Scripture: Matthew 28:18-20; Mark 1:14-20; John 14:1-15; II Peter 1:1-8
One of the most terrible things is to live without purpose: to have no plans, no direction, no goals, no reason for living. To merely "exist" is a tragic way to spend our time when we could be living.
When HIV touches our life, we may feel hopeless and want to stop living. We start to lose sight of our dreams and plans. We begin to believe that we have no purpose. That is not true!
God affirms that we always have a purpose. As long as we are seeking to become better people, reach out to others, work on our spiritual growth, care and pray-- we have a purpose.
How do we find our purpose? We can start by doing a self-inventory. We can ask: "What are my talents, resources, goals, hopes, and dreams? What is most important to me? How has God gifted me?" Next, we ask: "What are the needs of my family, friends, society? What would God have me do about these needs?" Then, we ask: "Where does my self-inventory match up with the needs I see?" The intersection of or self-inventory and the needs of others may be a good place to begin fulfilling our purpose.
God offers us life. God will give us a purpose. Let us be done with existing and get on with living!
Assurance #7: God Gives Us Strength.
Scripture: Psalm 34:4; II Corinthians 12:9, 10; Philippians 4:13
All of us feel tired and overburdened sometimes. Demands related to friends, family, work, health can tire us out. Add the challenges of HIV to this mix and it is easy for us to reach the point of exhaustion. We may begin to believe that we can not overcome the next difficulty we face.
We find strength as we become connected to God through Jesus Christ. In this spiritual relationship, we find what we can not find in ourselves. Our strength is not found in wrestling with life but in resting in God's hands (Isaiah 40:29-31).
How reassuring to know that spiritual strength is promised to those who wait upon God. How empowering to realize that we can face all challenges backed by the power of God.
Strength is not measured in weight, muscle size, or athletic ability. Strength is measured by our oneness with God. As our spiritual relationship becomes stronger, we become stronger people. God's strength will never fail us.
Assurance #8: Peace, Hope, and Joy are God's Gifts.
Scripture: John 14:27; Romans 5:1-5; II Corinthians 12:9, 10; Philippians 4:4-7; Hebrews 4:16
Beyond the materialism and selfishness of society (and ourselves), we need peace, hope, and joy. We feel these needs more intensely when our lives are touched by HIV.
That we live in a disturbed world is not news to anyone. That we can find peace in the midst of it IS news. God offers us peace. We can have peace because we know we are God's. We know that justice will prevail. God never leaves us.
Hope and HIV are not opposites. HIV affects the body but hope is found in the soul. We hope for a cure. We hope that we can fulfill our dreams. We the have hope that after we take the step of death, our story will not end. In fact, our hope says that our existence is eternal and that one day we will be in a place with no death, illness, or tears of pain.
Scripture calls us to rejoice at all times. While we do not rejoice about the negative things in our life, we do rejoice that God goes through these things with us. We rejoice that the love in our hearts will last forever. We find joy in the faces of children, in the little things of life, and in the kindness of loved ones. Without peace, hope, and love, life is unbearable. With them, we can live and thrive.
Assurance #9: God Takes the Side of the Poor, the Sick, and the Oppressed.
Scripture: Amos 5:10-15, 21-24; Matthew 5:1-12; James 1:27; 2:2-9
God's love is extended to all people. God has a special concern for the persons who are poor, sick, and oppressed. Repeatedly Scripture defines true religion as caring for the poor, the stranger, and the afflicted. Scripture condemns the actions of those who are unjust, abuse their positions of power, and close their eyes to the needs of others.
HIV/AIDS increases poverty. Those who are poor become poorer. Many who have been financially comfortable become poor. Due to peoples' fears and unjust social structures, being infected/affected by HIV often results in our oppression.
God does not desire us to be in poverty, to be sick, or to be oppressed, but sometimes we are. God is not indifferent to our situation. God is our advocate, our comforter, and our refuge. God's will is for justice for all. As The Reverend Dr. Martin Luther King, Jr. said, "even though the arc of the moral universe is long, it bends towards justice." The struggle may be long, but we do not struggle alone. God struggles along side of us and on our behalf.
We can take comfort in the knowledge that our situation is not forgotten by God. Jesus came to preach good news to the poor and set free the downtrodden.

Assurance #10: God Never Gives Up on Us.
Scripture: Psalm 12; Psalm 18; Proverbs 3; Hebrews 12:1-3
People sometimes break their promises, destroying our faith in them. We may become so disappointed in the actions of others that we begin to give up on people. When the people who hurt us are members of the religious community, we are tempted to give up on religious institutions and people. We can even be tempted to give up on God.
Some clergy and congregations fail to meet the needs of people. However, millions of people, including those whose lives have been touched by HIV/AIDS, have found parts of the Christian community to be very supportive.
We all need spiritual moorings, to feel connected to something greater than ourselves. We all need to feel like we have a place in eternity. We want to experience love, peace, forgiveness, and hope. We lose all of these benefits if we react to the uncaring acts of others by shutting down our spiritual life.
People will sometimes fail us, but God will not. God is always greater than the people who claim God's name. Even if we have given up on people, we do not need to give up on God. God never gives up on us.

The Reverend Don Nations is pastor of Port Tampa United Methodist Church in Tampa, Florida and a member of Florida Annual Conference. He is on the clergy advisory committee of Francis House, a spiritual outreach to those infected/affected by HIV/AIDS, and an HIV/AIDS instructor. Copies of the brochures 10 Assurances and Guidelines for Giving of Pastoral Care to Those Persons Who Are Infected/Affected by HIV/AIDS, from which the two articles in this Focus Paper were adapted, may be obtained from The Reverend Don Nations, Port Tampa United Methodist Church, 6914 South DeSoto Street, Tampa, Florida, 33616, (813) 837-5002.


U.M. Family HIV/AIDS Network: A Network of United Methodist Families and Others Who Have Been Touched by HIV/AIDS
"Do Unto Others..."
by Richard B. Cory
Introduction
On 21 February 1986, Catherine and Richard Cory were blessed by the birth of Alexander Nicholas Cory, a beautiful baby boy. Afterward, Catherine experienced post-operative bleeding. She received a massive transfusion--18 units of whole blood and 4 units of blood clotting factors. (50 donors or more are required to produce 1 unit of blood clotting factors.) Catherine became comatose and spent several days in intensive care. During her recovery, she breast fed Alex.
In the spring of 1987, Catherine went to the American Red Cross to donate blood. A week or so later, the Red Cross called Catherine and asked her to come back into their office. They gave no further explanation. When Catherine went to see them, they told her that she had tested positive for HIV. Subsequent testing of the rest of the family showed that Alex was also positive and I was negative.
A general sense of well being, not only physical, but also spiritual and emotional, plays a major role in the care of persons with life-threatening illnesses. Both medical research and personal testimonies have confirmed this. When persons are faced with their own mortality, especially at an early age, it is not uncommon for them to look to the community and especially the church for support.
Unfortunately, HIV/AIDS carries a strong stigma. Many people believe that those infected with HIV somehow did something to "deserve" AIDS. Despite several years of publicity and education, many only know that HIV/AIDS kills, so they want nothing to do with persons who are HIV positive. Many people still react negatively towards a friend or even family member who lets it be known that they are infected.
The result is that many who are HIV positive feel compelled to live in secrecy. As if facing a life-threatening illness is not hard enough, they have to hide to avoid being the target of unfounded fear, hate, and bigotry born of ignorance. In short, at a time when the support of the community is most needed, it is not available. Rather than being supported, people living with HIV/AIDS often become outcasts.
Examples of Lack of Support and Ignorance
What follows, are some experiences that I have had concerning how the lack of support and ignorance of others has affected my family.
1. When Alex was about two years old, my wife and I were both working. We enrolled him in a day care facility near home. As recommended by my son's physician, we discussed his HIV status with the owners of the day care facility. After consulting with the state health department, the Red Cross, and talking to my son's doctor, they said they would have no problem accepting him for day care.
A few months later, Cathie picked Alex up early and said something about taking him to see a doctor. A day care staff person asked about his health (presumably showing genuine concern). Alex was asymptomatic at the time. My wife spilled the beans, saying he was being treated for HIV.
During the next several days, the employee resigned her job and called the parents of other children. She told them that their children could have AIDS because they were exposed to a child with AIDS in the day care center. Many parents were very upset, even threatening a law suit. We were told that one of the loudest voices in the crowd was a medical doctor!
We had to withdraw Alex from the day care center and find other accommodations.
2. When Alex was about four, both Cathie and I were still working. A neighbor who was a very dear friend took care of Alex for us while we were at work. Alex even referred to her as his "other mommy." She was well aware of Alex's diagnosis and treated him as if he was one of her own.
The neighbor had a daughter who was just one day older than Alex. She enrolled her daughter in a preschool at a nearby Lutheran Church. We thought this was a good idea; so we enrolled Alex as well. Cathie talked to a school administrator about Alex's condition (still asymptomatic), who gave us a very positive response.
A couple of weeks before the school was to begin, the pastor of the church asked to come to our home to speak with us. We assumed that since we were not members of his congregation he simply wanted to meet us. When he arrived he explained that the school staff had been informed that a child would be coming that was HIV positive. They promptly offered their mass resignation if that child was admitted. He asked us to withdraw Alex. The basic idea was, if my son came to the school, there wouldn't be any school to come to. We withdrew him.
We had already told Alex that he would be going to school. He had been very proud that he was so "grown up." Now we had to tell him he could not go. It made it no easier that his best friend would be going and he couldn't. In all fairness, the pastor did invite us to attend his church and promised his support at church. The teachers in the school were not members of his congregation so he said had little influence over them.
3. When Alex was to begin kindergarten, my wife, being Catholic, wanted to enroll him in the local Catholic school. Alex was still asymptomatic but he was taking medications that would have to be dispensed during the school day. We considered (based on our previous experiences) not saying anything to the school administration. We decided that it would only be a matter of time before someone realized that Retrovir and AZT were the same drug and the only reason for a person to take AZT is for HIV.
We went in and talked to the principal. Much to our dismay, the principal was dead set against him attending "her" school. Initially she claimed that she didn't have the necessary medical facilities. We told her that the only thing she needed was a teaspoon and a responsible adult to give him his medicine once during the school day. Then she indicated she had cancer and her immune system was depressed so she might get "IT." We offered our sympathy and pointed out that HIV is not spread through casual contact. Ultimately, the bottom line was that she feared that if the other parents found out, she might lose enrollment. Those enrollment figures were more important than my son.
We asked the parish priest to intervene on our behalf. He told us that the school was independent of the parish and that he had no say. I asked him if he was the spiritual leader/advisor for the school. He answered yes, but told us this was a business matter that he had no say in.
We pursued the issue further. Finally the diocese agreed to discuss it. We offered brochures from the Red Cross and speakers, including our son's doctor. They told us none of this was necessary--they would handle it. We asked to address the meeting of the diocese; they said this was impossible. After several months, the diocese had their meeting. They decided they did not have enough information, so they postponed setting any policy until a future meeting. In the meantime, school started.
We have never heard anything further from the church concerning this. One of the most tragic losses was not only that my son could not attend the school but my wife has stopped attending church. She feels betrayed by the church that she was raised in from an infant.
Not all of the news is bad. Following are some more upbeat stories of support and understanding.
Examples of Support and Understanding
1. Recently we told Alex that he has AIDS. He's 7 1/2 now. We had avoided telling him before. When he asked me directly, "Daddy... do I have AIDS?" I couldn't see not telling him the truth.
About a week after this conversation, Alex announced to the children at the bus stop (and several parents) that he had AIDS. A number of parents have since offered their sympathy and support. One parent reacted with anger over not being told sooner. She was afraid because her son plays with Alex frequently.
We shared the facts about AIDS with her, including brochures from the Red Cross. Then she called the National AIDS Hotline. She has turned out to be very loving and understanding, and her son still plays with mine.
2. My son wanted to join the Cub Scouts. I was concerned about the reaction that we would get when he told people, which was bound to happen sooner or later.
I called the executive director of the local council of the Boy Scouts of America. I told him of my son's condition and offered my services as an educator. (I'm a recently certified HIV/AIDS instructor.) Much to my dismay, he said there really wasn't a problem here with HIV/AIDS. He didn't see the need and had no desire for the services I could provide. Furthermore, the Boy Scouts have no specific policy concerning AIDS. If the local "pack" or "den" decided they didn't want Alex there, he could be thrown out. Needless to say, I was not happy with this.
I approached the local den leader and scout master. Both have been very supportive. The current plan is to meet with parents and tell them (along with some training) that a child in the pack has AIDS (unfortunately Alex is no longer asymptomatic). If any parents want to make a fuss, they will be assisted in finding another pack for their children to join... but Alex will NOT be thrown out. This Cub Scout Pack, by the way, is sponsored by a Baptist Church.
3. One instance of support and understanding that sticks out in my mind is a conversation I had with Alex's teacher at the beginning of this school year. She shared with me about her meeting with the principal and vice principal. They told her a child who has AIDS would be attending school and asked if she would object to him being in her class.
She told me: "I was stunned at first... I didn't know what to say. Then I asked myself 'What would Jesus do?' and the answer came easy. Of course, I'll take this child in my class and into my heart." If more people would take the time to ask themselves that question when faced with a tough decision, the world would be a much better place and life would be so much simpler.
Conclusion
Though we have experienced hatred and bigotry, we have also received a great deal of support and friendship from many people. I remember as a child learning about Jesus ministering to the sick and lame... even to the lepers who were outcasts of society.
People with AIDS are humans too. Like everyone else they have a need to be needed... to fit in. People ask me, "What can I do to help?" I tell them that the most important thing they can do is to be a friend. That may mean just going through life as usual, providing a shoulder to cry on, maybe a comforting hug, or maybe just simply being there. Treating those with HIV/AIDS with kindness and dignity is by far the greatest gift that can be given. The "Golden Rule" applies, "Do unto others as you would have them do unto you."

Richard B. Cory lives in Chesapeake, VA. He is an American Red Cross certified HIV/AIDS instructor and a member of the National Association of People with AIDS (NAPWA).


Pastoral Care: A Parent's Perspective
by William Nunn
The topic of pastoral care gives me great pain. I am very sad that so many clergy will not visit a person with AIDS. I am also sad that some who do visit spend their time reprimanding the person for the "evil life" they have lived.
This article was written as a result of my efforts to find a pastor to go to our son after he entered the hospital. Of all I contacted, only two offered to go. One did not get there in time and the other walked into the room, stared at him, and left without a word. I was devastated at this lack of pastoral care. I was not aware, at the time, of the clergy person who had counseled him in his earlier hospitalization. My son had told me that he had made his peace with God, but I had no idea how he had done so. He told me that no one had come.
Those of us who try to live by the Bible know it tells us about how we should live, though the Bible is interpreted in different ways by different denominations and even by different people within denominations. These beliefs can be argued without end. Some religious teachings say that our behaviors can cause our downfall and sentence to hell. However, we also have been taught that the worst of sinners can be forgiven and receive the life everlasting. We know that, in Christianity at least, even a last breath reconciliation with God can be made.
How can clergy, if they profess to be doing the work of the Lord, refuse to minister to people who are HIV positive? We read in the Bible that Jesus worked with lepers and prostitutes, healing and bringing them to salvation. Would he not be working with people with AIDS and others who suffer in so many ways if he were here today?
A pastor need not fear contamination from AIDS when visiting a person who has HIV. Talking, holding the hand, praying, and counseling are all safe. No one gets AIDS that way. Those who stand at the door of the room and yell a prayer at the sick person may as well stay home. This is of no help. Rejection is obvious, or is it fear... or both?
A pastoral visitor may suffer emotional strain if a person tells them a life story of drug use or multiple partner sex. Pastors must keep in mind that the story may be poured out in an effort to shock, to see if the pastor will flee the room. Once the person's story is out in the open and the visitor accepts it, then the tension goes away and is replaced by trust. Then progress can be made and real healing can happen.
The important thing for pastors is to give people with HIV counsel, comfort, hope for the hereafter. Ranting at them about sin is not going to help or solve anything. If you are a pastor who thinks it is helpful to tell persons with AIDS that they are going to hell for their sins, please stay home. If you feel you can tell them about the grace and forgiveness of God, then go and help them find their peace.
I hope that clergy will learn to comfort and counsel persons living with AIDS. Pastoral care for persons with HIV is not much different from care for any person who has a terminal illness. All who are ill need and appreciate similar things: sincerity, concern, care, comfort, intercessory prayer, and love. They need to know about and experience God's love.
I mentioned earlier that initially I did not know about the pastor who visited my son when he was first hospitalized. She had not been without shock in the whole matter of his life story. His story was not a pleasant one, but she reacted calmly and with unconditional love. He responded when he knew she was sincere. She spent much time with him and helped him work through his life and his feelings. She helped him make his peace with God. Later she assured us that he had made the right decisions and that he was going to live in the house of the Lord forever.
I am thankful for those blessed pastors who go to a person who has HIV with unconditional love and work with him or her to dispose of the guilt and pain. These pastors bring the person to the grace of God and help them feel hope, no matter how late the hour. I am eternally grateful to this lady for her willingness to minister to my son, someone she had not known previously and someone who desperately needed her counsel and guidance.

William (Bill) Nunn is recently retired from managing a retirement facility in Pennsylvania. His son died of HIV related disease. He consented to share some of his experiences with us, and thus with you, concerning watching ones child live and die with AIDS.

RESENSI BUKU: Kontekstualisasi

Bab 18.
Pembenaran Melalui Iman
Tafsiran Galatia 2 secara Kontekstual

Kontekstualisasi Anugerah:
Galatia 2 adalah bentuk kontekatualisasi yang diilhami oleh Roh Kudus yang sangat dibutuhkan leh jemaat Galatia pada pertengahan abad pertama Masehi. Galatian 2 merupakan ajaran tentang “ Pembenaran oleh anugerah melalui iman” dan ajaran ini juga sangat dibutuhkan di India maupun di Eropa. Bagi yang belum pernah mendengar berita tentang Injil berdasarkan dan yang sudah pernah mendengar tapi kurang memahaminya sangat dibutuhkan kontekstualisasi yang sesuai dengan buadaya mereka.
Berikut ini merupakan ajaran tentang pembenaran oleh anugerah yang ditinjau dari tiga konteks budaya, yaitu:

1.Galatia pada abad pertama:
Ketika jemaat Galatia mendengar dan menerima berita Kristus, jemaat ini mengalami penyerangan dari orang-orang yang mendesak pemahaman mereka dengan mengatakan bahwa iman harus disertai oleh ketaatan kepada Taurat Musa, dan yang mengatakan bahwa iman itu baik tapi tidak cukup dan orang Kristen harus hidup dengan gaya Yahudi. Dalam situasi ini jemaat Galatia membutuhkan kontekstualisasi agar mereka memiliki pemahaman yang kuat tentang makna anugerah dan iman dan keberhasilannya dalam keselamatan.
2.Jerman abad ke-16:
Ketika Paus Leo X dan Uskup agung Mainz mempergunakan surat-surat penebusan dosa untuk mencari keuntungan, kemudia gereja dan Negara membagi-bagi keuntungan dari surat penebusan dosa itu. Mereka memanfaatkan jasa-jasa Kristus dan para orang kudus yang berlimpah-limpah. Melihat hal tersebut, Luther menyampaikan protesnya dengan mengeluarkan pemberitaannya yaitu, Sola Scriputa, Sola Gratia, sola Fide. Luther menerima murka dari Paus dan para penguasa gereja. Ajaran Luther inilah yang sangt dibutuhkan oleh jemaat pada saat itu.

3.India Abad 20:
Dalam konteks india terdapat padangan dunia kebudayaan dan keagamaan hindu yang menitik beratkan ajaran tentang karma yang menekankan pertanggung jawaban seseorang atas keberadaaan hidupnya yang bukan merupakan kebetulan melainkan hasil dari keadilan dari tindakan yang di perbuat orang tersebut. Menurut ajaran ini, manusia tidak dapat terbebas dari karma. Agama Buddhis juga mengatakan bahwa keterbebasan seseorang dapat dicapai melalui pencerahan sejati. India membutuhkan konteksualisasi ajaran tentang pembenaran atau pembebasan melalui iman dalam Anugerah alah saja.

Dari ketiga konteks di atas kita dapat melihat bagaimanakah Paulus dan Luther memberitakan tentang pengajaran pembenaran oleh anugerah oleh karena iman. Bila kontekstualisasi ini di laksanakan Luther di india pada abad 20 maka kemungkinan yang akan ia lakukan adalah: mengupayakan agar kontekstualisasi tersebut dilaksankan oleh orang india sendir agar ciri-ciri setempat dapat termuat dalam usaha kontekstualisasi ajaran pembenaran oleh anugerah melalui iman. Ada tiga tawaran prinsip yang penting dalam kontekstualisasi, yaitu:
1.Tafsiran kontekstualisasi yang autentik harus mencerminkan cara pemahaman dari budaya penerima, dan membandingkan kebenaran Alkitab dengan gagasan-gagasan kebudayaan sehingga kebenaran Injil di kukuhkan dan di beritakan.

2.Kebenaran Injil dipertahankan dengan cara menegaskan sifat untuk “kontekstualisasi” yang terdapat dalam Alkitab yang diilhamkan oleh Roh Kudus.

3.Buku penafsiran adalah sarana tepat untuk berita-berita khusus yang disesuaikan dengan budaya setempat yang menghasilkan pemahaman dan dampak.


Bab 19. KONTEKSTUALISASI UNTUK ORANG MUSLIM

Strategi Perjumpaan Terbuka
Sepanjang sejarah perjumpaan Islam dan Kristen, perdebatan terbuka telah memainkan peranan yang penting. Para utusan Kristen dari zaman Konstantin sampai Raymundus Lull, dan para penginjil modern sejak Samuel Zwemer sampai Josh McDowell, telah berusaha mengungkapkan kekurangan-kekurangan Islam melalui debat. Namun jelas bahwa debat itu tidak berhasil. Di antara agama Islam dan Kristen tetap beranggapan bahwa mereka adalah sebagai pemenangnya. Namun hal ini tidak berarti bahwa strategi perdebatan tidak ada gunanya. Dalam setiap perbedaan tidak menunjukkan siap yang jadi pemenang. Dengan adanya debat yang dipersiapkan dan disajikan dengan cermat, debat dapat mendorong orang untuk lebih jujur mencari kebenaran. Dalam usaha dialog antar umat beragama memerlukan pemahaman bahwa pertanyaan-pertanyaan dalam rangka menemukan persamaan tidaklah mungkin, namun dialog dapat digunakan dalam rangka memberi penjelasan tentang apa dan bagaimana agama tersebut. Dialog humanisme akan memecahkan kebuntuan dalam setiap dialog.

BAB 20. KONTEKSTUALISASI UNTUK ORANG KRISTEN NOMINAL

Kekristenan nominal adalah suatu jenis komitmen keagamaan sekuler, yang dipusatkan bukan lagi pada Allah dan Kristus, melainkan pada perumusan ajaran Kristen yang diterima oleh satu gereja tertentu, atau pada lembaga gereja itu sendiri. Pengubahan pusat perhatian ini karena terbukanya celah antara yang kudus dan sekuler, yang mempersoalkan apakah yang adikodrati itu ada dan menggoda orang untuk membuang komitmen kepada Allah yang pribadi dan menggantikannya dengan idiologi konkret atau dengan suatu benda. Orang Kristen nominal dapat memfokuskan perhatiannya pada suatu sistem kebenaran atau pada suatu pengakuan tertentu, dan dalam hal ini tingkkat komitmennya diukur oleh ortodoksinya.
Sementara sekularisasi berlangsung terus mengikis kewibawaan ajaran Kristen, orang merasa terpaksa untuk menyerahkan diri kepada sesuatu yang lebih kokoh daripada Allah yang tidak kelihatan. Bentuk-bentuk keagamaan yang dilembagakan menjadi pusat perhatian. Komitmen sekuler terhadap perusahaan, badan pemerintah, klub sosial ataupun klub olahraga, menggantikan komitmen keagamaan yang bermakna. Hal-hal yang berfungsi sebagai pengganti agama ini berkuasa sementara sekularisasi terus berkembang, dan komitmen dibatasi pada bidang kehidupan yang bersangkutan.
Tema-tema teologis yang harus ditekankan dalam pemberitaan Injil kepada orang Kristen mencakup paling tidak tiga hal, yakni:

1.Keputusan Pribadi adalah mutlak perlu.
Wajar bila manusia mencari kemantapan dan jaminan dari sistem-sistem dan tradisi-tradisi yang tampaknya berakar kuat dalam sejarah. Karena alasan-alasan ini, pemberitaan Kristen harus menekankan kembali perlunya keputusan pribadi untuk mengikut Yesus. Orang Kristen harus di tantang untuk membuat komitment pribadi yang radikal dan membayar harga ke muridan.

2.Kedudukan Kristus sebagai Tuhan.
Hal yang tidak masuk akal bila orang berkata bahwa ia mengikuti agama yang menembus dan menghubungkan segala segi kehidupan, sementara ia menyingkirkan segala pengaruhnya kepada satu bidang kehidupan saja dan membatasi fungsinya pada usaha menjamin kedudukan sosial. Kekuasaan Kristus atas seluruh bagian kehidupan adalah satu-satunya pemecah terhadap kesulitan-kesulitan yang timbul akibat komitmen yang terbatas terhadap sistem kebenaran yang menyeluruh.

3.Roh Kudus Memberi kuasa.
Struktur-struktur sosial tidak pernah memberikan kuasa supaya seseorang dapat menaati tuntutan-tuntutan sosial. Berita tidak hanya menegakkan norma-norma yang jelas, melainkan juga memberikan kemampuan untuk memenuhi tuntutan-tuntutan Allah.

Mencegah Kesalahpahaman
Ibrani 1:1-4 sulit dipahami oleh masyarakat Amerika Utara sedikitnya dalam dua bidang, yakni:
Bidang Pertama:
Tradisi-tradisi dan lembaga-lembaga sosial keagamaan Ibrani. Pada jaman surat Ibrani ditulis orang mengenal lembaga-lembaga yang tidak dikenal sekarang.
Bidang Kedua:
Makna beberapa kata Yunani. Cara pengarang menggunakan sejumlah kata dalam ayat ini mungkin sulit dipahami oleh orang-orang modern.

Penafsiaran Menentukan Makna Nas
Sebagai dasar untuk kontekstualisasi, kita harus mengetahui konteks aslinya. Singkatnya, pengarang agaknya adalah seorang kristen Helenis dari kristen kedua yang menulis surat ini kepada orang-orang percaya di Roma, tak lama sebelum tahun 64 masehi.

Penerapan: Khotbah yang Kontekstual
Di Eropa Tengah dan Utara, orang selalu berusaha untuk membentuk suatu khotbah yang kontekstual untuk orang kristen nominal. Pembaca dalam hal ini perlu memahami bahwa tata ibadah Eropa, ruang lingkup tempat khotbah ini disampaikan pada umumnya dicirikan oleh suasana hikmat dan keagungan. Ada pembaca yang mungkin merasa khotbah kurang menarik karena gaya teologis yang ketat nalarnya dan tidak mengandung humor dan cerita, namun hal ini pun tergantung kepada budaya si pembaca tulisan khotbah.


Tanggapan Dan Kesimpulan Pembaca

Di setiap perjumpaan dengan agama lain, kebudayaan, kehidupan sosial dan aspek kehidupan masyarakat, keKrisnenan membutuhkan satu usaha untuk menjadi inklusif dan terhindar dari tembok-tembok pemisah gereja dari unsur-unsur tersebut di atas. Usaha tersebut adalah Kontekstualisasi. Dalam kontekstualisasi juga harus tetap ada prinsip-prinsip dalam upaya menyajikan Injil dalam bentuk-bentuk yang dapat dipahami dan dimengerti (ciri-ciri setempat) oleh masyarakat yang menerima usaha kontekstualisasi tersebut.
Dengan memperhatikan dan menganalisa serta memakai ciri-ciri lokal/setempat maka kontekstualisasi tidak menjadi suatu usaha yang berbentuk kata atau tulisan saja, tetapi tetap di dasarkan pada dasar prinsip kontekstualisasi yaitu : Agar Injil di dengar dan di mengerti dan diterima oleh masyarakat di luar kekristenan. Jika Kekristenan dan Injil di upayakan untuk di mengerti dan di pahami kemudian di imani oleh orang banyak maka Injil dan kekristenan harus terus berkontekstualisasi dengan mengunakan dan menerapkannya melalui keunikan ciri-ciri setempat dalam masyarakat di mana Injil dan ke-kristenan tersebut mengalami perjumpaan.

Rangkuman Mata Kuliah Islam

1.Dunia Arab Pra Islam

Arabia terteletak di wilayah padang pasir yang terletak di bagian barat daya Asia. Ia merupakan padang pasir terluas dan tergersang di dunia. Luas wilayahnya 120.000 mil per segi yang berpenduduk rata-rata 5 jiwa setiap mil persegi. Arabia merupakan wilayah strategis dalam peta dunia zaman kuno, ketika benua Australia dan Amerika belum dikenal orang, karena letaknya berada pada pertemuan ketiga benua : Asia, Eropa, dan Afrika.
Para ahli geologi mengatakan bahwa wilayah itu pada awalnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari daratan Saraha (kini dipisahkan oleh lembah Nil dan Laut Merah) dan daratan berpasir yang menyambungkan Asia melalui Persia bagian tengah ke Gurun Gobi. Daratan semenanjung Arab menurun dari Barat ke Teluk Persia dan daratan rendah Mesopotamia. Tulang punggung semenanjung ini adalah gugusan pegunungan yang berbaris sejajar dengana pantai sebelah barat dengan ketinggian lebih dari 9.000 kaki. Gurun yang biasanya disebut gurun pasir Suriah, Badiyah al-Syam, juga gurun pasir Mesopotamia, kebanyakan berupa daratan padang tandus.
Kata “Arab” berarti “padang pasir” atau “gurun” . Dalam pengertian ini, Arabia meliputi kawasan gurun Suriah, Sesuai dengan kehidupan bangsa Arab yang bersifat Nomadis, dan sifat orang Arab yang lebih menyukai hal-hal “duniawi” seperti : berperang, minuman keras, dan wanita maka suasana kehidupan agamawi pada dasarnya kurang subur dan sukar berkembang. Walapun demikian kehidupan beragama masih tetap ada dalam masyarakat Arab.
Pada umunya orang Arab mempunyai keyakinan tentang adanya kekuasaan yang di atas segala-galanya (All Supreme Power) yang mengatur seluruh jagad raya, yang dinampakkan misalnya dalam syair-syair kuno yang sangat terkenal di lingkungan bangsa Arab. Kekuasaan dari All Supreme Power tersebut, menurut keyakinan orang Arab telah mendelegasikan kuasanya kepada dewa-dewi yang rendah. Dewa-dewi yang orang Arab sembah antara lain : Al-Uzzu, Al-Latta, Manah, dan Hubal. Bangsa Arab juga menyembah mahluk-mahluk angkasa (Heavenly Bodies) serta melakukan kultus keagamaan mereka, seperti upacara korban.
Fetisisme adalah suatu kepercayaan yang diwujudkan dalam bentuk penyembahan terhadap benda, seperti batu dan kayu. Oleh masyarakat Arab, batu diyakini mempunyai kekuatan berupa roh yang menempati batu itu. Roh itulah yang disembah dan bukan batu itu sendiri. Batu dan benda-benda lainnya hanyalah tempat persemayaman roh. Aliran ini menganggap roh itu dapat membawa kebaikan dan menolak kejahatan.azirah Arabia, Sinai, dan beberapa daerah Palestina dan Mesir.
Disamping pertanian, perdagangan adalah unsur penting dalam perekonomian masyarakat Arab pra-Islam. Mereka telah lama mengenal perdagangan bukan saja dengan sesame Arab, tetapi juga dengan non-Arab. Pertanian dan perdagangan yang maju berdampak pada kemajuan profesi lain dalam perekonomian pra-Arab. Profesi atau cabang lain tersebut adalah industry rumah. Industri ini makin berkembang karena semakin banyaknya kebutuhan yang mendesak. Dalam perkembangannya kegiatan perekonomian masyarakat Arab pra-Islam mengalami kemajuan yang pesat.
Arab Pra-Islam merupakan suatu wilayah yang telah memiliki peradaban yang maju hal ini dapat kita lihat dari kemajuan-kemajuan yang dialami masyarakat tersebut dalam kehidupan bermasyarakat, social, politik, dan ekonomi. Walaupun banyak kepercayaan-kepercayaan yang terdapat dalam masyarakat namun hal ini bukan menjadi penghambat perkembangan agama Islam di Arab.

2.Nabi Muhammad dan Lahirnya Islam

Nabi Muhammad lahir pada tanggal 12 Rabiulawal tahun gajah atau tanggal 21 April 571
M. Ia adalah keturunan dari suku quraisy, nama ayahnya Abdullah dan ibunya Aminah. Dari masa kecil Nabi Muhammad telah banyak melihat hal-hal yang membuatnya merasa tidak puas dan merindukan hal yang benar. Jiwa Nabi Muhammad adalah jiwa yang ingin melihat, medengar, dan mengetahui. Ia ingin meraih cahaya hidup dengan dasar kebenaran. Ketika dewasa Nabi Muhammad menikah dengan Khadijah setelah sekian lama bekerja padanya, ia melalukan pekerjaan tersebut dengan benar dan penuh dengan kejujuran.
Setelah itu, Nabi Muhammad memiliki beberapa istri, dan alasan mengapa ia memiliki banyak istri adalah : ada yang di dasari cinta, di dasari pertimbangan sosial politik, untuk memberi perlindungan, memperkukuh tali Islam melalui wanita yang dinikahinya, mengangkat martabat wanita, melindungi dari tekanan musyrikin.
Ketika Muhammad berusia 40 tahun, ia sering melakukan khalawat (mengasingkan diri) dan ketika di Gua Hira ia menerima wahyu dari Allah melalui malaikta Jibril (tahun 610 M). Setelah menerima wahyu tersebut maka Nabi Muhammad berdakwah dan memperkenalkan agama Islam bagi sekelilingnya. Adapun inti ajaran Muhammad adalah:
1.Menegaskan bahwa Tuhan itu Esa, Tuhan yang Maha Kuasa.
2.Tuhan pencipta alam raya.
3.Akan datang hari pembalasan.
4.Balasan pahala di sorga menanti mereka yang melaksanakan perintah Tuhan.
5.Hukum yang geri di neraka menanti orang yang mengabaikannya.

Nabi Muhammad ketika berdakwah tentang Islam dan ajarannya banyak orang yang menentang dia termasuk sukunya sendiri suku Qurais. Karena penindasan yang dialami Muhammad dan para pengikutnya maka terjadilah peristiwa Hijrah dan dalam peristiwa ini tejadi peristiwa yang dramatis yaitu: Isra (perjalanan dimalam hari, ketika Nabi diperjalanan secepat kilat dari khabah ke Yerusalem). Nabi Muhammad adalah juga seorang pemimpin negera. Nabi Muhammad adalah pembawa kitab yang diyakini 1/8 penduduk bumi sebagai sumber Ilmu Pengetahuan, kebajikan, dan teologi.

3.Sumber Primer Ajaran Islam

Sumber Primer ajaran Islam adalah Al-Quran. Dalam Al-Quran ada beberapa fungsi yang berguna bagi manusia, yakni:
a.Sebagai bukti yang berasal dari Allah SWT
b.Sebagai Pembenaran, kitab-kitab suci sebelumnya, yakni: Taurat, Zabur dan injil
c.Sebagai pelajaran dan penerangan
d.Sebagai pembimbing yang lurus
e.Sebagai pedoman bagi manusia, petunjuk dan rahmat bagi yang menyakininya
f.Sebagai pengajaran bagi semesta alam
g.Sebagai petunjuk dan kabar gembira
h.Sebagai obat penyakit jiwa.

Al-Quran mengandung tiga pokok ajaran yaitu : Keimanan, Akhlak, dan Budi Pekerti. Dalam al-Quran juga tercantum aturan tentang pergaulan hidup sehari-hari antara manusia dengan manusia dan manusia dengan Allah SWT dan alam sekitarnya.
Hadist juga merupakan sumber ajaran dalam agama Islam. Dan Hadist terbagi atas dua bagian yaitu:
a.Hadist qudsi: yaitu firman Allah yang disampaikan kepada nabi Muhammad kemudian beliau menerangkannya dengan kata-katanya sendiri.
b.Hadist Nabawi: hadist yang baik asal dan lafalnya dai nabi Muhammad.

4.Mengenal Hukum Islam

Al-Quran adalah kitab suci umat Islam yang berisikan firman Allah yang diwahyukan kepada nabi Muhammad. Dalam Al-Quran dikenal beberapa hukum yang menjadi patokan dan arahan bagi pemeluknya untuk dilaksanakan dalam kehidupan keberagamaan mereka. Hukum Islam dikenal dengan sebutan Syariat, yang mempunyai pengertian jalan yang sesuai dengan undang-undang/peraturan yang dibuat oleh Allah, yang berlaku bagi umatNya yang sudah aqil baligh (berakal sehat dan sudah dewasa). Untuk mengerti Syariat maka kita tidak akan terlepas dari ilmu fiqih (pengetahuan tentang hukum-hukum Islam yang mengenai perbuatan manusia). Hukum fiqih terbagi atas dua bagian, yaitu Hukum Rohani (shalat, puasa, zakat, haji, qurban) dan Hukum Duniawai adalah hukum-hukum yang berhubungan dengan perbuatan manusia, perkawinan, perceraian dll (munakhat), sedangkan Jinayat adalah hukum menurut syariah Islam terhadap tindakan kriminal seperti pembunuhan, perzinahan dll.
Sumber-sumber Hukum Islam adalah Quran (Kitab yang diwahyukan Allah), Hadist (ucapan, perkataan Nabi Muhammad), Ijma’mufitahidin (dalil yang disepakati oleh para ulama , Qias (penentuan hukum). Adapun hukum dalam Islam dibagi menjadi lima yaitu: Wajib, Sunat, Haram, Makruh, Mubah. Dalam Islam juga dikenal bermacam-macam hukum dalam kehidupan sehari-hari. Seperti: Hukum Qias atau pembalasan, Diat (hukum denda), Hukum hudud (terhadap orang-orang yang melanggar peraturan moral, Bughat (hukum terhadap pengacau masyarakat dan yang menyerang Allah dan Nabi), Tazir (Hukum terhadap penghinaan, kesaksian palsu), Kifarat (Hukum denda untuk menghapus dosa karena melanggar Hak Allah, misalnya pengerusakan puasa, dll).

5.Rukun Islam

Rukun Islam adalah ajaran dasar Islam. Ajaran ini terbagi dalam 5 bagaian yaitu:
1.Syahadat (kesaksian): ini adalah penyataan pengakuan iman, yang menyaksikan tentang tiada tuhan selain Allah dan menyatakan bahwa Muhammad sebagai utusan Allah. Tanggung jawab yang timbul dari pengucapan dua kalimat syahadat ini adalah agar kita mengetahui bahwa segala kepunyaan kita baik itu harta dan tubuh kita adalah kepunyaan Allah. Kita harus mengikuti segala perintahNya dan menjauhi laranganNYa.
2.Menegakkan Shalat: adalah cara berhubungan dengan Allah secara lansung dan memperoleh kekuatan, bimbingan dan kedamaian fikiran. Secara garis besar shalat di bagi menjadi dua bagian besar yaitu:
•shalat Fardlhu (wajib) : zhurur, Azar, Maghrib, ‘Isya, Shubuh.
•Shalat Sunnah : shalat yang dapat dilakukan sendiri dan berjaamah.
Adapun manfaat adri shalat adalah : kesdaran akan kedudukan sebagai budak Allah, rasa kewajiban, latihan kepatuhan, menimbukkan rasa takut akan Allah, kesadaran akan Hukum Allah, praktek kebersamaan. Shalat ini juga mempunyai persyaratan yaitu: Islam, Suci dari haihd, dan nisfa, sampai dakwah islam kepadanya, berakal, Baligh. Ada pendengaran. Dan shalat dapat batal
3.Menunaikan zakkat: ialah mengeluarkan sebahagian dari harta benda atas perintah Allah sebagai shdaqah kepada mereka yang telah ditetapkan menurut hukum Islam.
4.Berpuasa: Puasa adalah suatu tindakan menahan hawa nafsu dan semakin mendekatkan diri kepada Allah. Puasa Ramadhan wajib dilakukan oleh Umat Islam dan ini merupakan puasa wajib. Dalam hal puasa ini juga ada yang disebut puasa yang disunnahkan dan puasa yang diharamkan.
5.Melaksanakan Ibadah Haji: hukum yang kelima yang diberikan kepada umat Islam untuk datang beribadah ke tanah suci bagi yang mampu. Dan persyaratannya adalah: Islam, baliq, berakal, orang yang mampu membiayai, kesehatan, keamanan, dan nafkah bagi keluarga yang ditinggalkan. Dalam ibadah haji tersebut dilakukan irham, tawaf, sai, wukuf, tahallul.

6.Struktur Masjid

Masjid merupakan satu sarana bagi umat Islam untuk melaksanakan kegiatan keagamaan. Susunan unit-unit kerja yang saling berhubungan datu dengan yang lain adalah struktur organisasi masjid. Struktur dari sebuah masjid dapat disederhanakan dan dikembangkan sesuai dengan program dan tujuan dari masjid tersebut. Unsur yang ada dalam takmir masjid adalah : Imam Masjid, manejer, Tata Usaha, Operasional. Dalam Masjid juga dibutuhkan departemen-departemen yang mengurusi bagian-bagian dari kegiatan organisasi masjid. Namun, tidaklah sama struktur yang dipakai oleh masjid yang satu dengan yang lain. Hal ini dikarenakan penyesuaian dengan kondisi dan kegiatan dari masjid tersebut. Namun masjid membutuhkan manajemen yang baik agar program dan tujuan masjid tersebut dapat terlaksana dengan baik. Dalam masjid juga di kenal Majelis Taklim yang akan memusyarawahkan apa-apa yang menjadi kebutuhan masid dan programnya.




7.Majelis Ulama Indonesia (MUI)

Awal mula berdirinya MUI adalah bersatunya ulama-ulama islam yang ada di tanah air dalam perkumpulan serikat dagang Islam (1905) , namun setelah kemerdekaan ulam-ulam ini tidak dilibatkan pemerintah untuk menyusun anggaran negara dan dalam pembangunan nasional. Dan pada akhirnya menjadi oposisi pemerintah di setiap daerah, melihat hal tersebt maka pemerintah mulai membentuk Majelis Ulama Indonesia dengan tujuan untuk mengontrol gerakan-gerakan ulama sekaligus sebagai penyambung lidah umat Islam kepada pemerintah.
MUI berdiri pada tanggal 26 Juli 1975. Adapun fungsi MUI adalah : memebrikan fatwa nasehat keagamaan, memperkuat ukhuwah, mewakili umat Islam dalam konsultasi dengan agama lain, menjadi penghubung antara ulama dan pemerintah.

8.Teologi Islam

Dalam Agama Islam banyak terdapat teologi-teologi sama dengan agama-agama lainnya. Teologi Islam didasarkan pada Al-Quran, dan tujuan dari teologi tersebut adalah pemahaman yang lebih mendalam terhadap ajaran agama. Pehaman-pemaham yang berbeda dalam teologi merupakan hal yang wajar, karena setiap orang maupun kelompok datang dari dasar pemahaman yang berbeda akan apa yang dimaksudkan oleh ajaran agama tersebut. Hal ini selama ajaran yang di bahas dalam teologi tersebut tidak menyimpang dari ajaran sebenarnya agama Islam dan Al-quran sebagai sumber primer dan hukum Islam.


9.Pluralisme Agama dalam Pandangan Islam

Islam adalah agama yang menjungjung tinggi kemanusiaan, persamaan hak dan mengakui adanya plurarisme agama, Menurut agama Islam Pluralisme adalah sebuah aturan Tuhan yang tidak akan berubah, juga tidak mungkin dilawan dan diingkari. Pengertian Pluralisme agama adalah: Kondisi kehidupan bersama antapenganut agama yang berbeda-beda dalam satu komunitas dengan tetap me mempertahankan ciri-ciri specifik ajaran masing-masing agama. Dengan perkataan lain bahwa agama mempunyai eksistensi hidup berdampingan, saling bekera sama dan saling berinteraksi antara peganut satu agama dengan penganut agama lainnya.
Dalam Pluralisme agama dikenal juga toleransi dan hal ini memiliki dua penafsiran yakni: penafsiran yang negatif dan positif. Negatif, mengatakan cukup hanya dengan membiarkan dan tidak menyakiti orang/kelompok lain. Sedangkan, Positif mengatakan bahwa toleransi itu membutuhkan lebih dari sekedar itu. Ia membutuhkan adanya bantuan dan dukungan terhadap keberadaan orang/kelompok lain.
Dalam agama Islam dan Al-Quran ditemukan banyak pengakuan tentang pluralisme ini antara laind dalam ahl al-kitab, utu al-kitab. Agama Islam selain mengakui adanya Pluralisme juga memberi kebebasan untuk menjalankan ajaran agama masing-masing. Hal ini merupakan konsep sosiologi dan kultural menghargai keragaman. Pengakuan A-Quran terhadap Pluralisme di pertegas dalam khotbah perpisahan nabi Muhammad ketika ia mengatakan “kamu semua adalah keturunan Adam, tidak ada kelebihan orang arab terhadap orang lain. Tidak pula orang lain terhadap orang Arab, tidak pula manusia berkulit putih terhadap yang berkulit hitam dan tidak pula yang berkulit hitam terhadap yang putih kecuali karena kebijakannya.”
Ada beberapa hal yang perlu dilakukan untuk memelihara Pluralisme tersebut antara lain:
1.Adanya kesadaran Islam yang sehat: Kesadaran yang sehat akan mampu melihat dengan jernih sisi kebenaran yang terdapat dalam agama lain, karena semua agama memiliki nilai-nilai kebenaran yang bersifat universal.
2.Amar Ma’ruf Nahi Mungkar: Hal ini menjadi perangkat lunak yang akan memberikan kebebasan cara berpikir dan mendorong terwujudnya kondisi demokratis. Dengan adanya dialog antara umat beragama akan menjadi pemelihara adanya toleransi dalam kehidupan keberagamaan di mana saja. Dengan dialog ini pemahaman-pemahaman yang keliru dapat di arahkan menjadi pemahaman yang benar dan pada akhirnya akan mengidarkan konflik antara agama.



10.Jihad dan Terorisme

Islam mensyariatkan jihad. Jihad adalah lafadz islam yang digunakan dengan makna
“perang”. Kata “Jihad” berasal dari kata kerja “Jaahada”, “Yujaahidu”, “Mujaahadatan”, dan “Jihad”; di ambil dari kata “ juhdun” yang bermakna “pekerjaan keras dan berat”. Secara bahasa al-jihad berarti “ pengerahan seluruh potensi untuk menangkis serangan musuh”. Latar belakang jihad antara lain :
1.Mempertahankan diri, kehormatan, harta dan Negara dari tindakan sewenang-wenang musuh.
2.Memberantas kezaliman yang ditujukan kepada umat pemeluk agama Islam.
3.Menghilangkan fitnah yang di timpakan kepada umat Islam.
4.Membantu orang yang lemah.
5.Mewujudkan keadilan dan kebenaran.
Dalam Islam ada tiga bentuk jihad yaitu : Jihad Mutlaq (Jihad ini adalah perang melawan musuh di medan pertempuran), Jihad Hujjah (Adalah jihad yang dilakukan dalam berhadapan dengan pemeluk agam lain denan mengemukakan argumentasi yang kuat. Jihad yang memerlukan kemampuan ilmiah yang bersumber dari Al-Quran dan sunah serta Ijtihad), Jihad ‘amm (Adalah jihad yang mencakup segala aspek kehidupan yang bersifat moral maupun bersifat materiil, terhadap diri sendiri mapun terhadap orang lain ditengah masyarakat)
Rasulullah SAW dalam hadis yang diriwayatkan oleh al-Baihaki dari Jabir bin Abdullah membagi jihad menjadi dua: Jihad al-Akbar (Jihad besar) yaitu jihad melawan hawa nafsu diri sendiri dan jihad asgar (jihad kecil) yaitu perang secara fisik. Berikut ini enam faktor yang dapat menyulut dan memunculkan aksi terorisme-radikalisme. Adalah:
I.Faktor Pemikiran: Merebaknya dua trend paham yang ada dalam masyarakat Islam, yang pertama menganggap bahwa agama merupakan penyebab kemunduran ummat Islam. Sehingga jika ummat ingin unggul dalam mengejar ketertinggalannya maka ia harus melepaskan baju agama yang ia miliki saat ini. Pemikiran ini merupakan produk sekularisme yang secara pilosofi anti terhadap agama.
II. Faktor Ekonomi : Liberalisme ekonomi yang mengakibatkan perputaran modal hanya bergulir dan dirasakan bagi yang kaya saja, mengakibatkan jurang yang sangat tajam kepada yang miskin. Jika pola ekonomi seperti itu terus berlangsung pada tingkat global, maka yang terjadi reaksinya adalah terorisme internasional.
III. Faktor Politik: Stabilitas politik yang diimbangi dengan pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan bagi rakyat adalah cita-cita semua Negara. Kehadiran para pemimpin yang adil, berpihak pada rakyat, tidak semata hobi bertengkar dan menjamin kebebasan dan hak-hak rakyat, tentu akan melahirkan kebanggaan dari ada anak negeri untuk selalu membela dan memperjuangkan negaranya.
IV. Faktor Sosial: Diantara faktor munculnya pemahaman yang menyimpang adalah adanya kondisi konflik yang sering terjadi di dalam masyarakat. Banyaknya perkara-perkara yang menyedot perhatian massa yang berhujung pada tindakan-tindakan anarkis, pada akhirnya melahirkan antipati sekelompok orang untuk bersikap bercerai dengan masyarakat.
V. Faktor Psikologis: Faktor ini sangat terkait dengan pengalaman hidup individual seseorang. Pengalamannya dengan kepahitan hidupnya, linkungannya, kegagalan dalam karir dan kerjanya, dapat saja mendorong sesorang untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang menyimpang dan anarkis.
VI. Faktor Pendidikan: Sekalipun pendidikan bukanlah faktor langsung yang dapat menyebabkan munculnya gerakan terorisme, akan tetapi dampak yang dihasilkan dari suatu pendidikan yang keliru juga sangat berbahaya. Pendidikan agama khususnya yang harus lebih diperhatikan. Ajaran agama yang mengajarkan toleransi, kesantunan, keramahan, membenci pengrusakan, dan menganjurkan persatuan tidak sering didengungkan. Retorika pendidikan yang disuguhkan kepada ummat lebih sering bernada mengejek daripada mengajak, lebih sering memukul daripada merangkul, lebih sering menghardik daripada mendidik. Maka lahirnya generasi umat yang merasa dirinya dan kelompoknyalah yang paling benar sementara yang lain salah maka harus diperangi, adalah akibat dari sistem pendidikan yang salah.